Kritik Ideologis
Menurut Kartanagara, unsur subyektifitas akan selalu berkait dalam penjelasan sebuah teori ilmiah. Sebagai contohnya, bahwa tidak mungkin dapat mengukur kecepatan sebuah kelereng yang menggelinding di atas laju kereta, tanpa menentukan posisi si subjek dari mana kecepatan kelereng tersebut harus diukur. Akan tetapi, jika kita mengukurnya di ruang angkasa, kita pasti harus memperhitungkan kecepatan rotasi bumi, selain kecepatan kelereng dan laju kereta, dan seterusnya.[1]
Selanjutnya ketika disinggung Turmudhi dalam suatu jurnal, Myrdal menyangkal keras bahwa anggapan ilmu tidak memberikan penilaian, tapi hanya mau mengemukakan fakta secara objektif seperti yang disimpulkan dari suatu kumpulan data dan fakta empiris. Dalam semua usaha ilmiah tidak bisa dihindarkan adanya unsur apriori. Karenanya unsur-unsur apriori yang berupa asumsi-asumsi dasar, faham-faham ideologis yang mendasari teori hendaknya jangan disembunyikan, melainkan harus dirumuskan dengan jelas agar dapat secara tebuka didiskusikan.[2]
1. Kontroversi Agama
Pengaruh rasionalisme abad pencerahan dan naturalisme, mendorong Freud mencari penjelasan ilmiah berkenaan dengan munculnya agama dan konsep Tuhan yang ada pada diri manusia. Pandangan Freud bahwa agama akan dicampakkan manusia modern dibantah keras oleh Mulyadi Kartanegara, karena pada kenyatannya manusia modern sekarang ini justru semakin membutuhkan agama dan spiritualitas.[3]
Gagasan Sigmund Freud mengenai agama menimbulkan tanda tanya besar, di satu sisi Freud mengakui akan keberadaan pengalaman keagamaan, tetapi selanjutnya gagasan itu dirumuskan olehnya sekedar untuk mengasingkan agama dalam ruang kosong psikologis manusia.
Sekalipun banyak psikiatri yang merespon positif gagasan rasa bersalah,[4] beberapa psikiatri sebaliknya menolak dan menjauhi ilusi itu. Jung, misalnya, mengalami benturan pemikiran ketika konteks ilusi agama Freud dikaitkan kepada ibadah agama dengan gangguan OCD. Jung akhirnya lebih memilih jalan otonom dengan berhasil menyusun buku psikologi agama yang semula berjudul “Terry Lectures”, yang di mana ia mengemukakan konsepsi perasaan beragama sebagai penyebab adanya rasa ketergantungan.[5]
Turmudhi memandang konsep agama Freud tidak lain terbentuk karena ia seorang ateis. Ia kemudian mengaitkannya dengan mengatakan jika manusia bagai binatang yang hanya mempunyai eros dan thanatos, maka adalah mustahil meminta pertanggung jawaban manusia kepada Sang Pencipta.[6]
Di lain pihak, kaum Sufi sangat tersinggung ketika Freud menganggap mereka adalah orang-orang neurosis, hanya karena telah menekan seksualitas ke alam bawah sadar semata-mata karena ketertundukan pada Tuhan. Padahal seperti dikatakan an-Najar, memang seorang sufi menekan secara ekstrem fisik dan jiwanya dengan tekanan yang melebihi kadar kemampuan dan kekuatannya sehingga menyebabkan kelemahan jiwa dan saraf. Namun kepercayaan kepada Allah yang tidak pernah membebani suatu jiwa melainkan sesuai kemampuannya, telah meredam kecurigaan itu.[7]
Paul Vitz (1998) seperti dikutip seorang penulis dari Bandung mengungkapkan bahwa penolakan terhadap Tuhan dan agama sering terjadi bukan karena hasil renungan dan penelitian yang sadar. Kita tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmiah, melainkan menemukan agama itu hanya sekumpulan takhayul dan menolak agama bukan karena alasan rasional, melainkan faktor psikologis yang tidak manusia sadari. Nietszhe menolak Tuhan, seperti diakuinya, bukan karena “pemikiran”, melainkan karena “naluri”. Hal yang mencengangkan adalah karena pada kenyataannya ilusi agama Freud secara mentah-mentah mengambil dari Feurbach. “...Teori ini tidak punya dasar dalam psikoanalisis...” ucap seorang penulis. Dan kemudian ia mengatakan bahwasanya Freud hanya sekedar mengemukakan opini pribadinya akan ilusi kesia-kesiaan agama. Freud sendiri memang mengakuinya dalam surat yang dikirim kepada kawannya, Oskar Pfister:
“Marilah kita berterus terang dalam hal ini bahwa pandanganku yang diungkapkan dalam bukuku, The Future of an Illusion, bukanlah bagian dari teori analitis. Semua gagasan di sana hanyalah pandangan pribadiku.”[8]
Storr juga menangkap kesan ambivalensi dalam jejak-jejak agama primitif yang tertuang lewat karya Totem dan Tabu. Ini tidak lain diutarakan karena pernyataan Freud sendiri yang menganggap jika totem dan tabu sekedar dibuat “iseng-iseng” dan Freud berharap orang-orang jangan terlalu mengambil pusing dalam buku yang ditulis ketika gerimis melanda itu.[9]
Ketika Freud mencoba meletakkan agama sekedar sebagai sejarah masa depan dan sebagai alat-alat penyaluran insting agresi, Lynn Wilcox, seorang mursyid sufi dan profesor psikologi, mengkritisi pandangan negatif agama seperti itu, dan seakan Wilcox menggertak Civilization and Discontens’ Freud, karena beliau menganggap cerita dalam kitab-kitab suci memiliki makna lebih dari sekadar sejarah dan peperangan. Baginya, setiap cerita memiliki makna pribadi, yang harus ditemukan di dalam hati melalui pengungkapan. Kitab-kitab suci tersebut merupakan isi cerita tentang kehidupan kita sendiri. Seperti dikatakannya di bawah ini:
“Cobalah kita baca kitab-kitab suci seolah-olah kita adalah satu-satunya manusia yang hidup di bumi, dan buku itu diberikan kepada kita sebagai panduan. Bacalah, seolah isinya adalah cerita tentang kehidupan batin kita- konflik-konflik batin, penemuan-penemuan batin, dan perjalanan batin kita sendiri. Misalnya, kita semua harus dituntun keluar dari perbudakan menuju Tanah yang Dijanjikan. Seperti dengan semua aspek agama, orang-orang telah menafsirkan kitab suci dengan cara-cara yang menguntungkan mereka pribadi atau sebagai anggota sebuah kelompok. Penafsiran-penafsiran yang egois ini tidak boleh diterima. Hal ini mudah dilihat dalam beberapa aspek, seperti banyaknya perang yang disebut perang agama itu sebenarnya tak lain adalah tentang perebutan kekuasaan. Dalam aspek-aspek lainnya perbedaan kepentingan agak lebih licik dan tidak terlalu kasat mata.”[10]
Dari sini Wilcox mengajak manusia untuk melihat persoalan agama sebagai “air jernih” dan menhimbau manusia menghilangkan kepentingan pribadi, entah apapun itu. Dengan hanya memakai akal atau tepatnya egosentris, justru berdampak pada upaya menyisihkan makna sejati dari hakikat agama.
2. Spiritualitas yang Terasingkan
Maka dibandingkan dengan Freud, sikap Frankl terhadap agama sangat berbeda. Dengan tajam ia mengkritik teoritikus-teoritikus yang berorientasi pada teori seksualitas Freud, yaitu mereka-mereka yang menerangkan semua perbuatan manusia sampai kepada perbuatan yang paling manusiawi dan mulia, dengan istilah-istilah dan motif-motif tak sadar dan mekanisme yang rendah. Kutipan sederhana berikut ini cukup baik untuk memberikan gambaran:
“Pencarian arti (makna) bagi manusia adalah merupakan suatu kekuatan primer dan bukan “rasionalisasi sekunder” dari dorongan-dorongan instink. Arti (makna) itu unik dan khusus hingga harus dan hanya dapat dipenuhi oleh manusia itu sendiri; barulah tercapai kepuasan kehendaknya akan arti (makna). Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa arti dan nilai tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Bagi saya sendiri, saya tak mau hidup semata-mata demi “mekanisme pertahanan” saya, begitupun saya tak rela mati demi “reaksi formasi”. Tapi manusia sanggup hidup maupun mati demi ideal-ideal dan nilai-nilainya.”[11]
Freud lupa bahwa di antara tingkatan mental, kepribadian manusia tidak hanya menjadi ladang pertarungan antara alam sadar, prasadar, dan alam bawah sadar, karena di atas itu semua, manusia memerlukan apa yang disebut Frankl sebagai alam supra sadar. Frankl kemudian menciptakan dimensi spiritualitas ini yang dinamakannya dengan dimensi noetik.[12]
Jadi, kehendak akan “arti’ adalah watak dasar manusia. Frustasi terhadap kehendak itu membawa kepada kekosongan dan eksistensial, kepada pertemuan dan ketidakadaan; dengan yang tidak hidup. Frustasi ini terutama sekali berwujud kebosanan dan kecemasan eksistensial yang mungkin sekali bisa membawa kepada apa yang disebut oleh Frankl sebagai noogenik neurosis. Noogenik neurosis adalah suatu neurosis yang timbul akibat konflik moral dan spiritual antara berbagai nilai-nilai, bukan sebagai akibat konflik antara dorongan-dorongan dan insting yang diyakini oleh para Freudian.[13]
Konsep kekosongan eksistensial dan ketidakadaan ini harus mengingatkan para psikolog Islam dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan dilema hidup yang tak mempercayai Allah sebagai suatu keadaan “ketiadaan spiritual” di mana seorang ateis akan kehilangan dirinya sendiri. Tuhan, dalam agama Islam, adalah satu-satunya kenyataan yang benar, sedang manusia hanyalah sebuah bayangan. Maka melupakan Tuhan berarti menajuhkan diri sendiri dari sumber diri itu sendiri.
Al-Qur’an merangkumnya dalam surat al-Hasyr/59: 19.
Al-Qur’an merangkumnya dalam surat al-Hasyr/59: 19.
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.”[14]
Pada tahun 1983, Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur, memberikan pidato di London di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya: \
”Lebih dari setengah abad yang lalu, ketika saya masih kecil, saya teringat saat mendengarkan sejumlah orang-orang tua memberikan penjelasan berikut ini atas bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi. Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50 tahun untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya telah membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan telah menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan puing-puing reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut. Tapi, jika sekarang saya di minta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama revolusi yang menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami, saya tidak mampu mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.”[15]
”Lebih dari setengah abad yang lalu, ketika saya masih kecil, saya teringat saat mendengarkan sejumlah orang-orang tua memberikan penjelasan berikut ini atas bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi. Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50 tahun untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya telah membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan telah menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan puing-puing reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut. Tapi, jika sekarang saya di minta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama revolusi yang menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami, saya tidak mampu mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.”[15]
Selanjutnya, fakta riset diperlukan untuk meredusir kecenderungan debat subjektif dalam meretas stereotipe negatif keberagamaan manusia. Bergin seperti dikutip Rahmat, melakukan metanalisis pada hasil-hasil penelitian tentang agama dan kesehatan mental. Ia menyimpulkan bahwa jika religusitas dikorelasikan dengan ukuran kesehatan mental, dari 30 efek yang ditemukan, hanya 7 orang atau 23 % menunjukan hubungan negatif antara agama dan kesehatan mental. Sebanyak 47 % menunjukkan hubungan yang positif, dan 30 % hubungan zero. Jadi 77% dari hasil penelitian bertentangan dengan teori negatif agama.[16]
Cinta adalah bahasa fitrah manusia. Namun apa jadinya jika kesucian cinta dipasrahkan kepada libido yang mengikat kepada kotoran yang berat? Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa spiritualitas yang ditekan oleh cinta hanya memperosok manusia jauh ke jurang yang lebih dalam. Oleh karenanya cinta dan syirik adalah dua hal yang inheren. Al-Jauzi kemudian teringat bahwa Allah SWT. mengisahkan cinta orang-orang musyrik pada kaum Nabi Luth, dan permaisuri Mesir yang ketika itu masih berstatus musyrik. Semakin besar kesyirikan seseorang, maka ia diuji dengan cinta gambar-gambar dan sebaliknya semakin kuat tauhid seseorang, maka ia dipalingkan dari kenistaan kelam tersebut. Selanjutnya al-Jauzi menyatakan bahwa zina dan homoseksual akan mengeliminir hati manusia, walaupun orang itu pada dasarnya baik-baik saja.[17]
Mujib menyayangkan jika Freud hanya membelit ekslusif cinta dalam koridor birahi. Dalam psikokogi Islami, seperti dikatakan Mujib, cinta merupakan aktivitas kalbu manusia yang naturnya cenderung kepada rohani (suci, baik, dan positif). Cinta merupakan manifestasi dari sifat Al-Rahman, Al-Rahim, Al-Wadud Allah SWT.[18] Jika skema kalbu menjadi kuat dan energi nafsu melemah, cinta yang seksis itu berubah menjadi cinta ilahiah, satu cinta universal dan tidak banyak menuntut karena disinari oleh ruh ketuhanan. Aktualisasinya adalah pesaudaraan (ukhuwah), saling menyayangi (tarahum), saling tolong menolong (ta’awun), saling toleransi (tasamuh), saling menanggung (takaful), yang semuanya didorong oleh perintah illahi.[19]
Di lain pihak, Deepak Chopra dalam The Path To Love seperti disitir Gede Pramana, menyebut bahwa jatuh cinta malah sebagai sebuah kejadian spiritual bukan insting hidup. Cinta tidak semata-mata bertemunya dua hati yang cocok kemudian menghasilkan jantung yang berdebar-debar. Ia adalah tanda-tanda hadirnya sebuah kekuatan yang dahsyat. Persoalannya kemudian, untuk apa kekuatan dahsyat tadi dilakukan?[20]
Gede Pramana setuju dengan Deepak Chopra yang menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Dari sinilah sang kehidupan kemudian menarik kita tinggi-tinggi ke rangkaian realita yang oleh pikiran biasa disebut luar biasa. Di bagian lain bukunya, Chopra menulis, “…merging with another person is an illusion, merging with the Self is the supreme reality…” Bergabung dengan orang lain hanyalah sebuah ilusi, tapi bergabung dengan sang Diri yang sejati, itulah sebuah realita yang Maha Utama.[21]
[1] Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 158.
[2] Ibid., h. 54.
[3] Kartanegara, Menembus Batas Waktu, h. 135.
[4] American Foundation of Religion and Psychiatri membenarkan pemikiran Freud tentang unsur superego yang mengetuk nurani manusia tentang kesalahan yang diperbuat, sehingga muncul pembahasan rasa bersalah. Masalah ini menjadi salah satu kajian etiologi kedokteran jiwa, juga dalam pembahasan psikologi. Adapun kemudian psikiater yang memimpin klinik ini, Dr Maxfield, berpendapat bahwa teknik pengobatan tidak saja dilihat dari unsur badaniah dan unsur kejiwaan, tetapi juga dengan tidak meninggalkan faktor kejiwaan yang terdalam. Sebab itu, ciri khas klinik ini ditandai dengan terapi spesifik “listen to their souls” atau mendengarkan jeritan jiwa pasien. A. Faruq Nasution, Thibburuhany atau Faith Healing: Psikologi Iman dalam Kesehatan Jiwa dan Badan (Jakarta: Eldine, 2001), Cet. ke-3, h. 82-83.
[5] Ibid., h. 82.
[6] Turmudhi, “Kritik Teori Psikologi”, h. 55.
[7] an-Najar, Psikoterapi Sufistik, h. 177.
[8] Paul Vitz merumuskan teori ateisme dari pandangan psikoanalisis Freud – dari Oedipus Complex. Ia menggabungkannya dengan pandangan pribadi Freud tentang proyeksi “pemuasan keinginan”. Di samping proyeksi tentang agama, sekarang ada proyeksi tentang ateisme. Chandra, “Surat Untuk Atheis,” artikel diakses tanggal 9 Januari 2008 dari http://swaramuslim.net/more.php?id=A437_0_1_0_M.
Purwanto menyimpulkan bahwa dinamika ateisme dalam ilmu eksakta dan ilmu sosial sangat berbeda. Ilmu sosial yang sedikit banyak tergambar dalam psikologi, lebih bersifat menyerang paham keagamaan dalam konteks keilmuan. Maka itu, paham ateistik dalam ilmu sosial sangat masif hingga akhirnya bisa saja mereka menyokong suatu teori, semata-mata teori itu menganggungkan ateisme. Ini terjadi jelas pada darwinisme, sekalipun banyak bukti ilmiah menolaknya, teori evolusi toh masih langgeng. Pengakuan Michael Walker juga memperkuat fenomena, ketika ia terpaksa menyimpulkan teori Darwin, hanya karena dianggap meniadakan sang pencipta. Purwanto, Epistemologi Psikologi Islami, h. 16.
[9] Anthony Storr, Freud: Peletak dasar Psikoanalisis. Penerjemah Dean Praty R (Jakarta: Grafiti, 1991), h. 115.
[10] Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Agama berjumpa Tasawuf. Penerjemah IG Harimurti Bagoesoka (Jakarta: Serambi, 2003), h. 264
[11] Azis, “Apakah Seluruh Aliran Psikologi Barat Tak Berjiwa?”
[12] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 97.
[13] Perdebatan antara Frankl dan Freud sangatlah menarik, pertama ialah karena Frankl sebelumnya adalah pengagum Freud. Kedua, meraka sama-sama Yahudi. Sekiranya ada bantahan dari dalektika pemikiran anatara Frankl dan Freud bahwa sesama Yahudi tidak boleh saling “mengganggu kedaulatan” yang lain atau istilah kita ”jeruk jangan makan jeruk”. Dinamika pemikiran kaum Yahudi adalah sebuah realitas yang tidak terelakkan ketika banyak temuan dilegalkan oleh jewishmen. Albert Einstein saintis berketurunan Yahudi dinobatkan sebagai Person of The Century oleh Time. Selain itu, beratus lagi sarjana dan cendekiawana Yahudi telah memberi sumbangan dalam peradaban dunia. Benjamin Rubin mencipta jarum vaksin moden (picagari), Albert Sabin membangunkan vaksin polio yang pertama, Gertude Elion menemui dadah melawan leukemia, Baruch Blumberg membangunkan vaksin untuk Hepatitis B, Paul Ehrlich menemui rawatan penyakit sifilis, Elie Metcnikoff memenangi hadiah Nobel melalui kajiannya mengenai penyakit berjangkit. Dan itu belum seberapa jika artis-artis ata pengusaha dunia turun mencipta koleksi Yahudi ini. Lebih jelas tentang fakta-fakta itu lihat “Mengapa Yahudi Kuat?,” artikel diakses pada 10 Januari 2008 dari http://www.islamhadhari.net/v4/wacana/detail.php?nkid=213
[14] Kemudian banyak yang menyatakan bahwa seorang psikiater seperti Frankl saja dapat melihat pentingnya ideal dan nilai-nilai agama di dalam masyarakat Barat yang materialistik dan dalam agama-agama Yahudi dan Nasraninya yang mengalami degenerasi, dan sanggup melahirkan sebuah aliran psikoterapi berhasil, apakah masih ada alasan bagi para psikolog Islami untuk terus membeo kepada pandangan-pandangan Freud yang atheis dan psikolog-psikolog lainnya dalam masyarakat mereka yang lebih beragama dan bermoral. Azis, “Apakah Seluruh Aliran Psikologi Barat Tak Berjiwa?”
[15] Chandra, “Surat Untuk Atheis”.
[16] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama (Bandung: Mizan, 2004), Cet. ke-2, h. 197.
[17] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Keajaiban Hati. Penerjemah Fadhli Bahri, Lc (Jakarta: Pustaka Azzam, 1999), h. 103
[18] Abdul Mujib, Risalah Cinta: Meletakkan Puja pada Puji (Jakarta: RajaGrafindo, 2004), Cet. ke-2, h. 68.
[19] Ibid., 68-69.
[20] Gede Pramana, “Cinta sebagai kejadian spiritual,” dalam Muslim Iqro Club Multimedia, Materi Kajian Islam 2. Pramana memberikan contoh bahwa tentara Inggris yang demikian perkasa harus pergi dari India karena kekuatan cinta Mahatma Gandhi beserta pejuang lainnya. Negeri ini dideklarasikan secara amat gagah berani melalui duet cinta Sukarno-Hatta. Demokrasi Amerika berutang amat banyak pada cinta George Washington. Raksasa elektronika Matsushita Electric dibangun di atas tiang-tiang cinta Konosuke Matsushita. Microsoft sampai sekarang masih dipangku oleh kecintaan manusia luar biasa yang bernama Bill Gates. Sulit membayangkan bagaimana seorang Jenderal besar Sudirman bisa memimpin pasukan melawan Belanda dengan badan yang sakit-sakitan, kalau tanpa modal cinta yang mengagumkan. Wanita perkasa dengan nama Kartini mengambil resiko yang demikian tinggi untuk mengangkat derajat kaumnya, apa lagi yang ada di baliknya kalau bukan kekuatan-kekuatan cinta.
0 komentar:
Posting Komentar