20100327

PATOLOSI SEKSUALITAS DALAM KONSTRUK PSIKOANALISIS: INSES, FETHISISME, DAN HOMOSEKSUALITAS

Oleh: Pizaro
Seks sebagai sebuah aktivitas yang memiliki energi psikis, ikut mendorong manusia untuk berperilaku psikopatologis. Selain itu, seks juga acapkali melahirkan sebuah gangguan jiwa yang tidak wajar. Maka itu, hal seperti ini disebut gangguan psikoseksual. Sebuah gangguan bartaraf kelamin yang dapat membahayakan orang lain atau diri sendiri dan dapat dilakukan dengan cara-cara normal ataupun psikopatologis.
Bagian dari gangguan psikoseksual di antaranya adalah incest, fethisisme, dan homoseksual. (a) Incest ialah hubungan seks antara pria dan wanita saudara sekandung. Secara legal mereka tidak pantas melakukan perbuatan tersebut, namun insting seksual terkadang tidak mengenal relasi sedarah.[1] 
Sedangkan (b) fethisisme ialah gejala psikopatologi seksual yang biasanya dilakukan pria dengan dorongan seks yang diarahkan pada satu benda atau bagian tubuh nonseksual yang dianggap sebagai subsitut kekasih, bisa dengan sepatu, baju, pakaian dalam, kaki, dan sebagainya. Benda tadi dipuja-puja sebagai simbol seks, biasanya dieksperesikan dengan cara membelai, melihat-lihat, menciuminya atau dipakai alat untuk menimbulkan orgasme.[2]
(c) Homoseksualitas secara sederhana menurut Sawitri Supardi Sadarjoen dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan yang akan kuat akan daya tarik erotis seseorang justru terhadap jenis kelamin yang sama.[3] Istilah homoseksual lebih lekat disandarkan kepada pria, sedang untuk wanita disebut lesbian.
Kecenderungan ini dapat dibagi atas beberapa kualitas perilaku homoseksual, antara lain homoseksual ekslusif yang tidak terangsang bahkan tidak mempunyai minat sama sekali oleh daya tarik lain jenis. Homoseksual fakultatif yang mendesak di mana kemungkinan ini mendapatkan partner lain jenis, sehingga perilaku homoseksual timbul sebagai usaha menyalurkan dorongan. Dan yang terakhir adalah biseksual, kepuasan erotis optimal baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis.[4]
Gangguan psikoseksual biasanya disebabkan trauma masa kecil. Ingatan-ingatan kanak-kanak akan terekam dalam memori dan tersimpan rapih dalam alam bawah sadar. Ego yang muncul dalam gangguan psikoseksual adalah ego yang minimalis dan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Reality testing sekalipun tetap tegak berjalan, tapi tidak maksimal, karena berbagai dinamika psikis akibat konflik masa kecil. Akhirnya banyak pelaku gangguan psikoseksual memilih jalan yang dinistakan masyarakat, seperti melampiaskan kepada objek seksual yang salah. Suatu kali juga terjadi dualisme antara insting mati seperti kekerasan, atau berubah ekstrim dengan menekankan insting hidup dengan tema “seni” penetrasi seks pada objek-objek innocent.[5] Inilah tuntutan libido tinggi yang kiranya belum mampu disalurkan secara gentle.
Pelaku gangguan psikoseksual lebih suka menggunakan mekanisme pertahanan ego daripada menahan hasrat seks yang garang. Mekanisme pertahanan ego yang umumnya dipakai adalah mekanisme immature atau tidak matang, sehingga tidak membantu menyelesaikan masalah yang asli.
a. Inses.
Dalam sebuah surat kepada Fliess, Freud melaporkan bahwa kecemasan itu tidak berkorelasi dengan mental, tapi sebuah konsekuensi fisik dari kekerasan seksual. Pada tahun 1896, Freud memperesentasikan penemuan-penemuannya ini kepada para praktisi medis yang kemudian diberi judul etiologi histeria. Dalam paper itu, Freud melaporkan bahwa ia mengidentifikasi rangsangan spesifik pada  kegenitalan akibat dari kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak sebagai trauma yang dibawa ke dalam histeria. Freud juga meneliti 18 kasus histeria, yang dalam kesimpulannya itu, kesemuanya terjadi akibat kekerasan seksual.
 Dalam tulisan lainnya kepada Fliess di tahun 1897, Freud berargumen bahwa ayah sebagai pelaku tindak kekerasan seksual ternyata juga melakukan tindak penganiayaan setelah melakukan aktivitas tabu itu kepada para korban. Tentu saja, penemuan ini telah menggelisahkan Freud.[6]
Jika Freud memusatkan inses pada skema keluarga dan insting, namun catatan-catatan parsial justru dipandang sebelah mata oleh Osborn yang menyatakan bahwa inses tidak bisa dilihat dalam satu perspektif saja, setidaknya kita harus melibatkan berbagai elemen yang memungkinkan terlanggarnya tabu inses. Dalam kaitan ini ia mengemukakan berbagai risiko.
Faktor-faktor Sosiolingkungan meliputi:
1.      Penerimaan atas supremasi pria.
2.      Kekuasaan yang tidak seimbang.
3.      Kepatuhan terhadap gaya.
4.      Daya tarik pada objek seksual (pada anak-anak).
5.      Perbedaan dalam hubungan dengan anak-anak.
6.      Keluarga yang memberikan toleransi kepada inses (permisif).
7.      Isolasi sosial.
8.      Tekanan hidup yang kuat.
Faktor-faktor yang bersumber dari keluarga meliputi:
1.      Atura-aturan tradisional dalam hubungan pria dan wanita.
2.      Kualitas perasaan pada hubungan antara orang tua dan ayahnya (kakek).
3.      Insiden-isiden kekerasan ketika kecil yang membekas dalam kehidupan orang tua.
Faktor-faktor dalam sistem keluarga meliputi:
1.      Cara-cara kekerasan dalam kehidupan keluarga.
2.      Struktur keluarga.
3.      Komunikasi dalam keluarga.
         Faktor-faktor kejadian yang mempercepat meliputi:
1.      Alkoholisme.
2.      Terbukanya kesempatan.
3.      Stres yang akut.
Faktor-faktor tambahan yang beresiko meliputi:
1.      Kehadiran ayah tiri atau kekasih sang ibu.
2.      Ketiadaan hubungan seksual anatara orang tua dalam waktu lama.
3.      Peran yang terbalik antara anak perempuan dan ibunya. Di mana anak justru menggantikan peran ibu dalam keluarga.
4.      Ayah yang pemabuk.
5.      Ibu yang pasif atau telah meninggal.[7]


Dalam perkembangannya, skema keluarga yang diisi antara anak vis a vis orangtua pada sistem teori seksualitas Freud, berkembang menjadi keterlibatan sosial pada kenyatannya. Kempe (1980) menemukan bahwa para ayah yang melakukan inses melibatkan putri mereka, cenderung menjadi pribadi introvert dalam kehidupan sosial. Catatan menarik dikemukakan bahwa seorang anak yang menjadi korban inses, ketika dia menjadi ayah mempunyai kemungkinan untuk menuntaskan “dendam” dengan anaknya lagi.[8]
Goode cenderung satu suara bahwa seorang anak yang inses memang menimbulkan masalah tertentu dalam kehidupan sosial, karena statusnya yang membingungkan. Di satu sisi dia menjadi ibu, namun di sisi lain ia tetap seorang anak. Lantas bagaimana status anak mereka? Karena kakek si anak juga menjadi ayahnya. Jika dikatakan pernikahan adalah solusi, Goode justru sebaliknya. Kenyataanya, pernikahan tidak akan memecahkan masalah, namun hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk.[9]
O’Brien (1983) seperti disarikan Levine dan Salle menyatakan jika penggunaan anak-anak dalam rangsangan seksual, apakah melalui pornografi, kekerasan, atau inses mengakibatkan jiwa anak berada dalam tujuh hal penting.
1.      Psikologis, pengenalan aktivitas seksual yang cepat akan memotong perkembangan masa kanak-kanak yang seharusnya. Anak-anak tidak mempunyai perasaan emosional yang tegar dalam mengasosiasikan seks.
2.      Harga diri yang rendah, kekerasan seksual akan membuat anak menarik diri dari teman-temannya karena aib.
3.        Eksploitasi, anak-anak akan menjadi ladang pemuas kebutuhan oleh   orang dewasa.
4.        Menjadi mudah terancam, karena anak-anak mengandalkan orang-orang dewasa, maka anak-anak mudah terancam. Penggunaan anak secara seksual menciptakan tekanan yang lebih dan kecemasan. Karenanya anak mulai mengintepretasikan ketergantungan sebagai suatu hal yang membahayakan.
5.        Pandangan tentang seksualitas terdistorsi, meskipun beberapa anak tidak menyadari aib ini sampai usia dewasa. Kekerasan seksual akan menimbulkan cara pandang anak yang negatif dalam hubungan seksual.
6.        Privasi anak, jika polisi atau praktisi anak tidak melakukan perlindungan, anak-anak korban inses sangat rentan untuk diekspos dalam majalah atau film porno.
7.        Distorsi perkembangan moral, perkembangan moral tentang betul dan salah berkembang pada waktu anak menjadi korban kekerasan seksual. Banyak kasus inses yang terjadi dalam keluarga yang saleh, disiplin, teguh menciptakan nuansa munafik dan bingung pada diri korban tentang aturan moral yang sebenarnya.[10]


Lagi-lagi Freud mengaitkan isi psikopatologinya setidaknya dalam noda-noda agama. Pada zaman primitif, ternyata aturan-aturan totem tentang tabu inses lebih radikal daripada yang sekarang mengemuka. Dengan mengambil berbagai rujukan kalangan antropolog seperti Frazer, didapat temuan bahwa larangan-larangan dalam pernikahan sesama suku, semata-mata dilakukan karena kengerian terhadap inses. Dengan sistem ini, alhasil membuat seorang laki-laki mustahil melakukan hubungan seks dengan sesama perempuan dari kelompoknya atau sebaliknya.[11]
Di Melanesia, larangan-larangan yang bersifat inses ditujukan pada hubungan laki-laki dengan ibunya atau saudara perempuannya. Seperti di Pulau Leper, kepulauan New Henrides, seorang anak laki-laki meninggalkan rumah ibunya pada usia tertentu dan harus pindah ke rumah adat tempat ia sehari-hari tidur dan makan. Adat yang sama berlaku di Kaledonia Baru. Jika saudara laki-laki dan perempuan bertemu, si perempuan segera bersembunyi di semak-semak dan si laki-laki berjalan terus tanpa boleh menoleh.[12]
Freud berpendapat apa yang terjadi pada zaman primitif itu tetap berlaku dalam rentang teori Seksualitas. Sebagai contoh, pada aturan larangan inses seorang menantu dan mertuanya, Freud sampai menelisik dalam hingga akhirnya menunjukkan sebuah skema bahwa pandangan menantu pada mertuanya mengingatkannya pada gambaran ibunya yang terus tersimpan dalam ketidaksadaran.
“Campuran perasaan lain dalam dirinya seperti lekas marah dan benci membuat kita mencurigai bahwa bagi menantu laki-laki, Si ibu mertua sebenarnya mempresentasikan godaan inses, seperti banyak terjadi bahwa seorang laki-laki jatuh cinta pada terlebih dulu pada ibu mertuanya sebelum perasaan itu dialihkan pada anak perempuannya.”[13]


Apa yang diucapkan Freud juga ditangkap kuat oleh Markale yang mengkaji beberapa klan dalam kaitan inses. Seperti dikutip Knapp, Markale menyajikan fakta bahwa tabu inses yang dilanggar di masyarakat Celtic, para raja, dan pahlawan-pahlawannya, mengasosiasikan diri mereka kepada para dewa, rasa berdosa, dan keyakinan kepada aturan moral yang kenyataannya tidak dapat ditegakkan oleh kepala suku seperti diri mereka. Semisal puisi-puisi epik di Celtic yang penuh dengan gairah inses, seperti Mordred tentang anak Raja Arthur yang melakukan inses dengan saudara perempuannya Morgan Le Fay. Cu Chulainn tentang anak suku Conchubar dan saudara perempuannya Dechtire. Cormac Conloinges tentang anak suku Conchubar dan Ibunya Ness.[14]
Kajian-kajian primitif ini adalah titik temu bahwa inses merupakan suatu infantilisme dan terkait kehidupan psikis neurosis. Arti family complex yang diuraikan Freud pada fase phalik menjadi awal mula inses di mana kecendrungan percintaan sedarah terurai kepada kekecewaaan anak kepada orangtua. Ini setidaknya menunjukkan kepada kita keterikatan yang kuat pada masa kanak-kanak dalam inses yang sulit dilepaskan.
“Psikoanalisa telah mengajarkan kita bahwa pemilihan obyek seks pertama seorang anak laki-laki pada dasarnya bermotifkan hasrat inses dan bahwa ia diarahkan pada obyek-obyek terlarang, ibu dan saudara perempuannya. Psikoanalisa juga mengajarkan pada kita cara-cara yang dipakai individu yang beranjak dewasa untuk membebaskan dirinya dari ketertarikan inses. Akan tetapi, penderita neurosis biasanya menampakkan suatu bentuk infantilisme psikis, ia tidak bisa membebaskan dirinya dari kondisi psikoseksual anak-anak, atau ia malah kembali ke regresi. Jadi, fiksasi libido yang berbasis inses ini masih, atau kembali memainkan peran utama dalam kehidupan psikis tak sadarnya.”[15]







b. Fethisime
Fetishisme tetap berpusat pada asosiasi alam bawah sadar yang terisi penuh oleh mekanisme represi terhadap keinginan.[16] Freud mengetengahkan suatu kasus yang diamatinya pada individu yang mengidap fetisisme kaki. Seorang pria yang tidak terangsang dengan bagian sensitif wanita.
“Laki-laki tersebut malah bisa dibangkitkan semangat seksualnya hanya oleh sebuah kaki berbungkus sepatu dengan bentuk tertentu. Dia bisa mengingat sebuah persitiwa ketika berusia 6 tahun, yang menentukan fiksasi libido tersebut. Dia sedang duduk di sebuah kursi di sebelah guru perempuannya yang sedang memberinya pelajaran bahasa adalah seorang perawan tua yang sederhana, berumur, dan berkeriput, dengan mata biru dan hidung yang pendek namun lancip. Pada hari itu dia telah menyakiti kakinya karena menjulurkannya pada sebuah bantal kursi dan beralaskan sandal beludru, dengan betis yang terbuka dengan sepantasnya. Selanjutnya setelah upaya yang malu-malu pada aktivitas seksual yang normal selama pubertas, sebuah kaki langsing berotot semacam yang dimiliki sang ibu guru yang menjadi satu-satunya objek seksualnya. Bila ciri-ciri lain pada seseorang menguatkannya pada tipe perempuan yang terwakli oleh guru bahasa Inggrisnya, maka dia pun tak kuasa untuk menahan ketertarikannya. Fiksasi-libido tersebut bagaimanapun juga, tidak membuatnya menderita kelainan. Dia sekedar menjadi tak lazim, yang bisa kita sebut sebagai remaja pemuja kaki.”[17]


Seperti dikutip Kennedy, Freud beralasan jika fiksasi libido dari pasien di atas bisa disebut sebagai penyebab fetishisme kaki. Fiksasi ini berada dalam konteks bentuk khusus dari hubungan objek, “jenis” guru privat bahasa, seseorang yang jelas-jelas mirip atau mampu menggantikan peran orang tua yang didamba. Dalam hal ini terdapat masalah-masalah traumatis yang berakitan dengan orang tua yang diproyeksikan pada sang guru privat pada momen tertentu, sehingga membuat libidonya sangat rentan terhadap fiksasi.[18]
White dan Watt menilai harapan kaum fethis bahwa objek cintanya mempunyai penis disimbolisasikan kepada bentuk fetish tangan. Namun harapan tinggal harapan karena partner cintanya ternyata adalah ibunya sendiri yang akhirnya harus ia tinggalkan karena sang ibu membohonginya dibalik pesona sensualitas.[19]
Pembahasan konsep fetisishisme turut diintensifkan oleh R.C Bak. Bak (1968) seperti diurai Gertrude dan Blanck telah menulis dengan ekstensif mengenai fetisisme yang ditekankan pada faktor etiologi dalam hubungan ibu-anak yang menghadirkan masalah pemisahan. Bak percaya bahwa ketidakpastian dalam kesan dalam memandang tubuh pada fetishisme adalah hasil dari regresi, di mana realitas yang terjadi dirubah kedalam ketidakpastian pada kesan tubuh pada fase phalik. Artinya, kompleks kastrasi dan gejolak yang terjadi pada fase phalik memainkan peran sentral dalam seksualitas yang ganjil ini.
Lebih jauh Bak juga menekankan kontribusi perkembangan ego pada fase pra phalik. Meskipun Bak tertuju pada analisis kecemasaan separatisme ibu dan anak dan kelemahan struktur ego yang terjadi pada masa oral, namun Bak mempertahankan mekanisme pertahanan pada fetistik harus muncul pada fase phalik. Hal ini juga merupakan sebuah usaha untuk mengidentifikasi ibu yang kehilangan penis. Kontribusi dari Bak ini setidaknya memodifikasi pemikiran Freud bahwa fetishisme menghadirkan kebebasan dari objek cinta.[20]
Selain itu, Greenacre juga memberikan pandangannya yang khas Klenian pada kasus fetishisme. Ia memulai kontribusinya kepada teori fetishisme dengan memperluas pemikiran Freud dalam peran psikologi ego. Awalnya Greenacre menekankan pada kesan kompleks kastrasi dalam perkembangan pra genital yang menjadi akar fetishisme, kemudian Greenacre menggeser perhatian dari kompleks kastrasi itu ke tahapan awal pengalaman-pengalaman pra genital. Pengalaman itu menghalangi struktur kepribadian untuk berkembang, dan akhirnya membawa anak-anak dalam kondisi tidak mampu menuntaskan krisis Oedipus. Pada misteri rentang waktu kejadian fethistik, secara spesifik Greenacre meletakkan permasalahan perkembangan pada setengah tahun pertama atau setengah tahun kedua.[21]
Dalam perkembangannya, fetishisme bergerak menuju gejala psikopatologi lainnya. Ciri utamanya adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang berhubungan dengan melibatkan pemakaian pakain lawan jenis dengan tujuan untuk meraih rangsangan seksual, hal ini disebut transvestik fetishisme. Jika individu fetishisme dapat dipuaskan dengan memegang objek seperti pakaian wanita sambil bermasturbasi, sedangkan pada orang dengan transvestik fetishisme justru ingin mengenakannya.[22] Mereka dapat memakai pakaian feminim, aksesorisnya, dan dandanannya secara lengkap atau lebih menyukai satu bagian dari pakaian, seperti stoking perempuan, BH, celana dalam, dan lain sebagainya.
c. Homoseksualitas
Homoseksual sebenarnya bukan kata yang mengejutkan bagi Freud. Dalam anggapannya sedari awal bahwa manusia adalah biseksual.[23] Alhasil, kecenderungan menjadi homoseksual bergantung kepada dinamika psikis dalam keluarga. Konkretnya seperti disitir Sadarjoen, bahwa kompleks Oedipus, fantasi inses, dan kompleks kastrasi adalah keladi dari seks sesama kelamin ini.[24]
Freud menggarisbawahi ketika terjadi rintangan untuk menyalurkan hasrat seksual pada masa anak, akan ditemukan penyimpangan seksual seperti homoseksual. Analisis menunjukkan kebanyakan setiap kasus homoseksual akan menetap dalam kondisi yang laten.[25] Sedangkan, traumatik fase anal memperlihatkan bahwa bagian pengeluar feses ini menggantikan peran vagina dalam kegiatan sensualitas erotik kaum homo. Atau sebelumnya pada fase oral yang begitu menginspirasi kaum homo untuk mendapatkan persetubuhan melalui mulut.
Kita akan mencoba menggeser patokan tahap psikoseksual ini kepada bentuk selfish love. Freud mendelegasikan bahwa ketimbang pilihan objek heteroseksual, homoseksual lebih berhubungan kuat dengan narsisisme. Ketika gairah homoseksual tak tersalurkan bahkan ditolak, akhirnya individu kembali kepada bentuk narsisisme. Dari sini akhirnya Freud sampai kepada kesimpulan yang membedakan dua tipe setelah tahap narsistik.[26] Yang pertama adalah tipe narsistik. Sebagai pengganti ego, seseorang yang sedekat mungkin menyerupainya akan dikejar sebagai objek cinta. Kedua, tipe anaklitis yang di dalamnya orang-orang menjadi dihargai karena kepuasan yang mereka berikan kepada kebutuhan primer dalam kehidupan dipilih sebagai objek cinta oleh libido. Fiksasi libido yang kuat pada tipe narsistik pemilihan objek juga ditemukan sebagai karakteristik dalam karakter kaum homoseksual yang nyata.[27]
Suatu terobosan dilaksanakan Gillespie yang mengenyampingkan tesa awal Freud dan Fleiss bahwa biseksualitas menjadi deteriminitas dari homoseksual. Catatan dari Gillespie lebih terfokus kepada proses belajar masa kecil. Ia berpikir bahwa kajian teori homoseksualitas harus melampaui segi etiologi yang semata-mata dimonopoli oleh usaha-usaha anak dalam kompleks Oedipus. Kesimpulanya, Gillespie menyarankan untuk membedakan aktivitas homoseksual ke dalam dua tipe. Pertama berdasarkan fiksasi pra Oedipus dan yang lainnya hadir karena regresi di permukaan masalah kompleks Oedipus.[28]
Layment menyatakan bahwa ibu yang tegang akan posesif niscaya menghasilkan anak laki-laki homoseksual. Sedangkan Neodonia dan Nash menambahkan bahwa keterikatan yang tidak sehat terhadap ibu pada kaum homoseksual, menutup kemungkinan terbinanya sikap positif terhadap ayahnya, bahkan kebanyakan mereka membenci ayahnya.
Ada suatu kondisi yang oleh Sadarjoen dilihat sebagai kecenderungan anak-anak untuk mengadakan identifikasi dengan salah satu orang tuanya, di mana anak tersebut mengalami frustasi yang mengesankan.
·        Ayah yang lemah, tidak bijaksana dan membiarkan ibu dominan di rumah.
·        Ayah menginggal dunia waktu kecil.
·        Tanpa ayah sama sekali.
·        Perceraian orangtua, di mana anak laki-laki ikut dengan ibunya.
·        Ayah yang bersikap dingin, kaku, dan kejam.[29]


Pada situasi-situasi di atas, secara tidak langsung “memaksa” ibu untuk tampil ke depan dengan mendominasi kehidupan anak dan membiarkan anak yang sangat terikat emosional dengannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kombinasi keterikatan yang abnormal dengan ibu dan relasi yang tidak memuaskan dengan ayah, sering terjadi pada kaum homoseks.[30]
Tindakan agresif orang tua tidak luput dalam terciptanya homoseksual. Gambaran klinis Freud pada bergeraknya insting mati dan agresifitas orang tua pada fase anal ditunjang oleh R.R Sears. Sears seperti dikutip Sadarjoen menulis adanya empat faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan anak dalam diferesiansi peranan jenis kelaminnya.
1.      Anxiety sexual pada pihak orang tua terutama pada ayah yang menghambat minat seksual serta rasa ingin tahu anak akan masalah seksual.
2.      Ibu menghukum anak dengan keras terhadap tingkah laku agresif anak.
3.      Seringnya anak mendapatkan hukuman dan siksaan.
4.      Tuntutan yang besar terhadap tingkah laku yang baik, teratur dan bersih di meja makan, toilet, dan sebagainya.[31]


Umur-umur tertentu tidak menjadi patokan untuk melakukan homoseksualitas.[32] Akan tetapi, setidaknya karena keragaman pelaku homoseksual tersebut, maka bentuk penyimpangan objek seksual ini berkembang, seperti aktivitas  homoseksual yang dilakukan pria dewasa dengan anak laki-laki yang lebih muda atau diistilahkan dengan pedofilia seksual.



[1] Nathan and Harris, Psychopathology and Society, h. 368.
[2] Ibid., h. 366.
[3] Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, (Jakarta: Refika Aditama, 2005), h. 41.
[4] Ibid., h. 41.
[5] Jannah Hurn Mather and Patricia B. Lager, Child Welfare: A Unifying Model of Practice (Stamford: Wadsworth, 2000), h. 167.
[6] Jan Osborn, “Incest”, dalam Dean M. Busby. ed., The Impact of Violence on The Family: Treatment Approaches for Therapists and Other Profesionals (Massachusets: Allyn & Bacon, 1996), h. 80.
[7] Ibid., h. 82. Di lain pihak, Lustig terfokus pada faktor kekeluargaan dalam terlanggarnya tabu inses. Seperti disitir Sadarjoen ia menyatakan bahwa terdapat lima kondisi ganguan keluarga yang juga  memungkinkan terlanggarnya tabu inses, yaitu pertama, keadaan terjepit, di mana anak perempuan menjadi figur perempuan utama yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu. Kedua, kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya. Ketiga, ketidakmampuan ayah untuk mencapai pasangan seksual di luar rumah karena kebutuhan untuk mempertahankan facade kestabilan sifat patriachat-nya. Keempat, ketakutan akan perpecahan keluarga yang memungkinkan beberapa anggota keluarga untuk lebih memilih desintegrasi struktur daripada pecah sama sekali. Dan yang terakhir adalah sanksi yang terselubung terhadap ibu yang tidak berpartisipasi dalam tuntutan peranan seksual sebagai istri. Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, h. 74-75.
[8] Geraldine Leitl Ortton, Strategies for Counseling with Chidren and Their Parents (California: ITP, 1997), h. 91.
[9] William  J. Goode, The Family (New Jersey: Prentice Hall, 1964), h. 24.
[10] Levine and Salle, Listen to Our Children, h. 282-2823.
[11] Freud banyak belajar dari berbagai buku yang menyajikan fakta kengerian inses. Selain karya-karya Frazer, Freud juga terbantu dengan temuan-temuan totem dan tabu inses pada buku The Melanesian karya R.H Codrington. Buku The Mystic Rose karya Crawly. Buku Secret of The Totem karya Andrew Lang. Buku The Origin of Civilization karya J. Lubbock. Buku Among the Zulus and Amatangos karya Leslie, dan masih banyak lagi.
[12] Sigmund Freud, Totem dan Tabu. h. 17. Substansi yang sama namun berbeda pelaku terjadi juga di Semenanjung Gazelle, New Britain, New Mecklenburg, kepulauan Fiji, suku Batak, suku Wakamba di Afrika Timur, kepulauan Bank, Vann Lava, kepulauan Solomon, dan suku Basoga di bagian hulu sungai Nil.
[13] Ibid., h. 27
[14] Bettina Liebowitz Knapp, Women, Myth, and The Feminine Principle (New York: State University of New York Press, 1998), h. 195.
[15] Sigmund Freud, Totem dan Tabu, h. 29.
[16] White and Watt, The Abnormal Personality, h. 386.
[17] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 394.
[18] Kennedy, Libido, h. 32.
[19] White and Watt, The Abnormal Personality, h. 386.
[20] Gertrude and Rubin Blanck, Ego Psychology: Theory and Practice (New York and London: Columbia University Press, 1974), h. 291-292.
[21] Ibid., h. 292.
[22] Nevid dkk, Psikologi abnormal Jilid 2, h. 80. McNeil melihat bahwa transvestik fethishisme ini dapat dimasukkan dalam kategori penyimpangan mode seksual, berbeda dengan fethishisme yang lebih dititikberatkan kepada penyimpangan objek seksual. McNeil, Neuroses and Personality, h. 110.
[23] Hal ini juga menjadi kajian genetik yang sekarang banyak diinformasikan kepada kita. Asumsi Freud menyerupai pemikiran Fliess yang melihat bahwa komposisi kromosom dalam tubuh menunjukkan adanya bisesksualitas pada manusia. Gertrude and Blanck, Ego Psychology, h. 297.
[24] Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus, h. 48.
[25] Sigmund Freud, An Outline of Psycho-Analysis (New York: Norton, 1969), h. 12.
[26] Holmes dkk, “Narsisme, Fantasi, dan Libido”, h. 567.
[27] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 490.
[28] Gertrude and Blanck, Ego Psychology, h. 299. Ucapan Gillespie ini hadir dalam diskusi panel yang diadakan International Psycho-Analytic Association pada tahun 1963 yang sedikit banyak mengulas homoseksualitas. Acara itu sendiri dihadiri berbagai psikoanalis dengan berbagai argumen yang berbeda. Opini Gillespie sendiri dibantah Pasche saat itu. Sebelumnya pada diskusi panel tahun 1955 International Psycho-Analytic Association mencatat fungsi mekanisme pertahan ego yang tidak kurang penting untuk memahami perversi untuk mendorong perubahan.
[29] Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus, h. 49.
[30] Ibid., h. 50.
[31] Ibid., h. 50. Keempat faktor dari Sears memperlihatkan dualisme gender. Pertama, di satu sisi memang baik untuk membina sikap wanita. Akan tetapi, justru akan mengakibatkan eliminasi pada anak laki-laki. Anak laki-laki yang tidak merasakan figur ayah untuk mengidentifikasi dan tidak ada yang menolongnya untuk melawan dominasi maternal (ibu), akan menjadi anak yang manis, karena ia kehilangan kekasaran dan sikap agresif dari anak laki-laki pada umumnya.
[32] Jauh sebelum homoseksual marak seperti sekarang ini, pada tahun 1948, berdasarkan penelitian Kinset, Pomeroy, dan Martin terdapat 4 % dari populasi umat manusia yang menjalankan homoseksual ekslusif. Dan dari 10 % pria yang menjalankan homoseksual ekslusif berkisar umur 16 sampai 65 tahun. Namun dalam kajian East (1946) dan Bieber (1962) ditemukan bahwa pangalaman gairah homoseksual terdapat pada umur yang jauh lebih muda yaitu sebelum umur 14 tahun. McNeil, Neuroses and Personality Disorders, h. 113-115.

0 komentar:

Tentang Aku

Foto saya
Seorang pemuda gemar menulis, membaca, dan diksusi berbagai tema: Psikologi, Konseling, Islam, Tauhid, Kajian Tokoh, Ghazwul Fikri, Filsafat, Heurmenetika, Feminisme, dan Sastra. Kadang-kadang suka juga menonton, travel, dan have fun

Arsip Tulisan

Menu Tulisan

Komentar Singkat

Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all