20100712

LULUSAN TERBAIK UN DAN KEPINTARAN YANG TEREDUSIR: MONOPOLI KOGNISI DALAM STANDAR KECERDASAN DAN TANTANGAN BAGI UMAT (PART II)

Oleh, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
Konselor Muslim


Anda tahu, mengapa kampus-kampus Perguruan Tinggi Negeri seperti UI, IPB, UGM, atau ITB belum mau menerima nilai UN sebagai kriteria Seleksi Penerimaan Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)? Tentu banyak alasan. Salah satunya adalah pihak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang belum meyakini sepenuhnya bahwa hasil UN dapat dijadikan patokan kualitas siswa.

Ini amat wajar. Karena betapa bobroknya penyelenggaraan UN. Dari mulai pembocoran soal ujian. Permisivitas guru dalam mengawasi. Atau berada pada ttitik ekstrim: Kongkalikong antara satu sekolah dan sekolah lainnya dalam “merahasiakan” kecurangan mereka!! Tentu itu tidak terjadi di seluruh sekolah. Namun kasus seperti paragraf ini bukan tidak sedikit. Jamak. Lebih dari satu-dua. Anda bisa mabuk jika melihat datanya, meski kita belum meminum arak.

Benarkan Lulusan Terbaik UN “Pintar”?: Mencoba Melihat Cara Kerja Otak

Jika anda berprofesi sebagai guru, hal itu bukan rahasia umum. Semuanya dilakukan rapih dan cenderung serba teratur bak intelijen antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kasus Komunitas Airmata guru tahunan silam pasti tidak lekang dalam ingatan kita. Saya sebenarnya sampai pada fikiran. Jika dahulu lelehan airmata guru itu adalah tangisan terhadap kecurangan, tapi kini luapan airmata itu tertuju kepada sistem yang menjadi keladi atas rasa gundah pelaku pendidikan. Sekolah hanyalah “korban” dari kekeliruan Elit kita dalam memahami kata pendidikan. Karena setahu saya mendidik itu prosesnya dengan hati, bukan hati-hati. “Hati-hati nanti ketahuan pengawas!!”

Kedua, UN memang sangat beresiko untuk menjadi standar kelulusan. Karena dengan tekanan yang sedemkian rupa terhadap siwa, amat beralasan jika kemudian siswa tidak bisa mengeluarkan kemampuan maksimalnya. Siswa tidak bisa nyaman dalam menyelesaikan soal. Tekanan itu datang bertubi-tubi terhadap mereka. Ya dari guru, keluarga, kawan-kawan, sampai dirinya sendiri. Semuanya demi reputasi. Tanpa disadari reputasi itu ternyata dibangun lewat tragedi.

Ada sebuah kisah unik sekaligus nyata untuk mengambil hikmah dalam ironi di atas. Alkisah, ada seorang anak kelas 1 SD beranama Robert J. Sternberg sedang bersiap-siap mengikuti Tes Inteligence Quotient (IQ). Saking cemasnya, hasil Tes IQ anak tersebut tidaklah terlalu baik, bahkan cenderung masuk ke kategori “anak bodoh”. Kedepannya, Robert menjadi anak yang biasa-biasa saja. Kemampuan Robert cenderung pas-asan semasa hidupnya di kelas. Itu dimulai dari kelas 1 hingga 3 SD.

Hingga pada suatu hari, muncullah seorang guru baru yang bernama Miss Alexa yang tidak percaya dengan ramalan Tes IQ. Miss Alexa dengan tegas berkata kepada Robert bahwa dia bisa melakukan yang lebih baik bila dia mau berusaha. Ternyata ucapan Miss Alexa jauh lebih akurat dari ramalan Tes IQ Robert, karena nilai Robert yang tadinya cuma C sekarang melejit hingga menjadi A. Nilai itu pun dapat tetap terus dipertahankannya hingga dia menjadi siswa yang berprestasi.

Anda mau tahu apa gawean Robert J. Sternberg sekarang ini? Saat ini dia adalah seorang Profesor Psikologi di Yale University, Amerika. Robert Sternberg telah menulis lebih dari 600 makalah ilmiah dan beberapa buku yang terkenal. Saking cintanya kepada Miss Alexa, dan betapa bersyukurnya si kecil Robert boleh memiliki guru yang “menyelamatkan” hidupnya. Akhirnya dengan oenuh keharuan, Robert J. Sternberg mendedikasikan bukunya yang berjudul “Successful Intelligence” kepada mantan guru SDnya tersebut.

Pertanyaannya, kenapa akhirnya seorang Robert Sternberg yang divonis dalam Tes IQ mendapat predikat C, berhasil melambungkan diri dan berhasil sukses? Nah, ini hampir sama persis dengan proses UN. Kita dapati tidak satu dua lagi, siswa yang awalnya pintar kemudian menjadi lemah dalam UN. Murid yang sebelumnya terkenal akan kepandaiannya, hanya dalam waktu tiga hari “berhasil” menjatuhkan nilainya. Penulis tidak hendak mengatakan bahwa Wildan dan Shelly adalah bagian yang menguatkan prosa itu. Tapi setidaknya kejadian ini jamak berserakan di lapangan. Sebilah kertas sebagai “takdir” untuk menentukan seorang siswa pantas lulus atau tidak. Bodoh atau pintar. Ya kesemuanya itu adalah Pil pahit yang mesti dirasakan Robert-Robert baru dengan cita rasa nusantara.

Lho anda mau mengatakan milayaran kocek pemerintah untuk membiayai UN hanya habis untuk sebuah tes yang absurd? Oke, baiklah penulis terangkan. Jika anda belajar Ilmu intelegensi, dalam bab otak manusia, saat seseorang merasa tegang maka yang aktif adalah otak reptilnya. Persoalannya kemudian otak reptil adalah level otak yang terendah dalam tingkat kognisi seseorang. Ia hanya bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi sensor motorik sebagai insting mempertahankan hidup dan pengetahuan tentang realitas fisik yang berasal dari pancaindera. Apabila otak reptil ini dominan dalam diri manusia, maka kita tidak dapat berfikir pada tingkat yang sangat tinggi.

Padahal untuk menyelesaikan sesuatu yang membutuhkan pemikiran, yang bermain adalah otak neokorteks, bukan otak reptil. Neokorteks adalah bagian otak yang menyimpan kecerdasan yang lebih tinggi. Penalaran, berfikir secara intelektual, pembuatan keputusan, bahasa, perilaku yang baik, kendali motorik sadar dan penciptaan gagasan (idea), kesemuanya berasal dari pengaturan orak neokorteks.
Menurut Howard Gardner, kecerdasan majemuk (multiple intelegence) berada pada bagian ini. Bahkan pada bagian ini pula terdapat intuisi yaitu kemampuan untuk menerima atau menyadari informasi yang tidak diterima oleh pancaindera.



Konsekuensi logisnya, UN yang didengung-dengungkan sebagai media standar kelulusan siswa akhirnya berbenturan dengan hal itu. Anak tidak mampu maksimnal mengeluarkan kemampuan otak neo korteksnya, dan memaksa dirinya dikuasai otak reptile. Karena sedemikian rupa tekanan yang menghantui mereka.

Di sebuah sekolah bahkan ada pihak Kepala Sekolah menempeli dinding kelas dengan poster bertulis “Gak Lulus UN mau ditaro mana muka gue?” atau “Gagal UN? Kiamaaaattt…!!”. UN tidak lagi menjadi media menyenangkan untuk mencapai titik awal kesuksesan, tapi UN berubah sedemikian rupa menjadi ring hidup dan mati. “Mati syahid atau mati konyol”. Bodoh dan tidak bodoh.

Belum lagi selama persiapan UN, peserta didik akan dipaksa belajar hingga “muntah” dari pagi ketemu sore, balik lagi ke pagi. Going itu sudah ditabuh dari awal saat siswa pada hari pertama sekolah. Contoh sekarang di sebuah sekolah, system yang dipakai adalah Sistem Kredit Semester. Materi semester satu (sama dengan kelas 1 SMA) dipadatkan, kemudian disisipi materi semester dua. Begitupun seterusnya. Materi kelas tiga nanti secara otomatis akan masuk ke semester dua. Sampai mereka tiba waktu di semester 5.

Kebijakan ini diterapkan agar ada jatah enam bulan kosong pada akhir mereka kelas tiga (semester enam) demi mempersiapkan UN selama enam bulan full!!! Ya hanya demi sebuah jawaban betul atau salah di atas kertas computer selama tiga hari. Saya menamakan ini sebagai sebuah kesalahan sistem.

Definisi Pintar yang teredusir

Karena itu definisi pintar, mau tidak mau mesti dikaji ulang. Bahkan menurut Adi Gunawan kecerdasan dalam kualifikasi dunia malah bergantung situasi dan kondisinya. Contohnya begini, bila seorang dokter bedah terkemuka tinggal di New York dibawa ke belantara gurun di Australia dan tinggal bersama suku Aborigin, lalu dokter ini diminta untuk mengamati suatu hamparan dataran, apakah yang ia lihat?
Mungkin saja dokter ini hanya akan melihat dataran yang gersang dengan tumbuhan semak belukar, dan kontur dataran yang naik turun. Itu saja. Tapi, suku Aborigin hanya dengan sekali pandang akan tahu jenis tanaman yang ada. Mana yang bisa dimakan mana yag tidak. Dimana bisa untuk mendapatkan air minum. Mana tumbuhan yang beracun mana yang tidak. Jenis hewan apa saja yang dapat dikonsumsi dan yang berbahaya. Suku Aborigin pun tahu berdasarkan jejak yang terdapat di tanah, hewan apa saja yang baru lewat.

Sekarang anda saya tanya, dalam kondisi seperti di atas mana yang lebih pintar? Begitu sebalikanya saat suku Aborigin atas izin Allah bertandang ke bumi Patung Liberty melihat gedung tinggi menjulangnya. Bar-bar kafe besrliweran dimana-mana. Kalau situasi begini mana yang lebih cerdas? Dokter bedah atau Suku Aborigin tersebut? Karenanya, definisi kecerdasan tidaklah sepele.

Lulusan Agama Sepi Prestasi?: Torehan Ilmu dari Anak Bangsa

Kondisi ini semakin rumit. Pendefinisian siswa terbaik selalu lekat dalam stigma monopoli fisika, kimia, matematika, nilai sepuluh, juara UN dan sejenisnya. Kita jarang sekali menghargai atau menjadikan cerita kesuksesan para ulama kita dalam merajai sains sebagai pengiang saat kita lupa bahwa dunia ini sebenatr. Kita pun amat minim menemani anak didik kita dengan kisah-kisah hebat bagaimana siswa agama mampu menjemput kesuksesan, melebihi mereka-mereka yang menjadikan dunia sebagai ukuran kesuksesannya.Masyarakat-p
un mau tidak mau seperti tergiring ke arah sana. Bahwa menjadi Ulama dan ahli agama tidak lebih baik nasibnya tinimbang mengadu nasib menjadi insinyur.

Padahal Nabiyullah Muhammad meninggalkan warisan sebagai lentera-lentera yang menerangi dunia yang tak lain adalah “Ashabul ‘Ilmi” (para ulama), yaitu mulai para Shohabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in sampai para ulama hingga tiada batas waktu. Seperti yang pernah disabdakan Nabi, “Para ulama itu sebagai lampu-lampu di bumi, sebagai pengganti para Nabi, mereka adalah pewaris-Ku dan pewaris para Nabi”.

Sekarang saya tes anda untuk membenarkan separuh tesis saya, syukur-syukur kalau saya salah. Anda tahu siapa mahasiswa UNISBA yang mampu menghafal 2500 hadis? Mungkin sebagian kita hanya akan melempar kata, “Oh ada, ya? Atau “Ah masak, sih?” atau ada pula sebagian kita yang berdecak, “Subhanallah…”.Memang wajar, sebab begitu tertutupnya info mengenai torehan luar biasa ini di media.

Eko Prasetyo Murdi Utomo umurnya genap 24 tahun. Ia adalah mahasiswa Fakultas Syariah di Universitas Islam Bandung (Unisba). Nama Eko begitu ranum di jagad dunia per-hadis-an Asia, setelah mampu meraih juara pertama Musabaqoh Hidzil (hapalan) Al-Quran dan Hadist tingkat Asia Tenggara.
Pada final Musabaqoh Hafalan Al-Qur'an dan Hadist Tahunan "Amir Sulthan Bin Abdul Aziz Alu Suud Tingkat ASEAN" ketiga kalinya ini, pemuda asal Pontianak tersebut mengalahkan 13 peserta dari berbagai Negara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, serta Filipina.

Eko adalah mahasiswa Fakultas Syariah Program Studi Keuangan dan Perbankan angkatan 2006. Dalam ajang ini Eko berhasil menyisihkan peserta dari Thailand, Laos, Myanmar, Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia.

Pemuda yang berencana melanjutkan studi S2 ke Madinah, Saudi Arabia ini, mengaku menghapal hadits tidak terjadi secara instan. Berkat ketekunan dan tuntunan para guru ketika masih duduk di bangku SMA, dia berhasil menghapal banyak hadits. Jumlahnya mencapai 2.500 hadits. Kebetulan ketika SMA, Eko juga berdiam di Pesantren Modern Gontor Jawa Timur.

Selesaikah, kehebatan “anak-anak” agama dalam mengharumkan nama bangsanya? Belum lagi beres. Anda kenal DR Mawardi? Jujur saya saja tidak mengenalnya sebelum seorang Ustadz memberi tahu saya saat acara di Pondok Pesantren Husnayain, Jakarta, pekan silam.

Di tengah gembar-gembor pemerintah memberi sanjungan bagi juara paduan Suara dan bernyanyi dengan title “Pengharum nama bangsa.” Itu justru tidak didapat oleh DR. Mawardi. Memang DR. Mawardi tidak membuthykannya, tapi kita bis melihat bagaimana cara pemerintah menghargai Ulamanya.

DR Mawardi memiliki rekam jejak yang menggaumkan. Ia selalu meraih summa cumlaude (A Plus) semenjak S1 sampai S3. Seperti dikutip situs bataviase.co.id, beliau menulis tema yang bukan biasa-biasa saja. Tebalnya mencapai 1.100 halaman. DR. Mawardi mengambil judul “Ziyadat was-Tidrakaat al-Imam al-Nawawi, atal Imam ar-Rafi iyfl Babi al-Zakal.”

Seorang penguji mengaku keheranan. Ia baru saat itu menemukan ada disertasi setebal 1.000 halaman lebih di Universitas Madinah, tanpa ada satu kesalahan pun dalam nahwu dan sharaf!! Subhanallah.

Putra Bangkinang ini mulai memasuki jenjang S-l di Universitas Madinah tahun 1990. Di tingkat ini, setiap semester berhasil ia lalui dengan predikat summa cum laude. Tahun 2000, Ketua MUI Kampar ini menyelesaikan pendidikan S2-nya, dengan tesis berjudul Tahqiq al-Matlabal AliyfiSyarhi Wasith al-Imam al-Ghazali. Tesis setebal 900 halaman ini merupakan studi tentang filologi terhadap buku al-Matlabul Aliy, sebuah kitab fikih terbesar dalam mazhab Syafii, karya Ibnu Rifan. Padahal, Cendekiawan sekaligus Imam Mesjid Kampar ini hanya mengkaji bab wudhu saja, yang naskah aslinya saja sekitar 600 halaman. Manuskrip ini belum dibukukan. Jika nantinya, dibukukan, dipekrirakan akan menjadi sekitar 100 jilid. Bayangkan!!

Cita-cita DR. Mawardi pun bukan main-main. Ia enggan terjun ke wilayah politik. DR Mawardi hanya bertekad kelak ia akan membangun peradaban Ilmu, dan itu dimulai dari Kampar, sebuah wilayah sederhana di Kepulauan Riau.

Sekarang saya ingin buktikan kembali, bahwa tidak hanya siswa umum yang cerdas. Sebuah Madrasah di bilangan Depok, baru-baru ini menorehkan prestasi yang riil ketimbang juara di atas “kertas”. Mereka berhasil membuat robot dan berkesempatan mempresentasikannya kepada Dubes AS dan NASA Ya madrasah tersebut bernama Madrasah Techno Natura (MTN)

Seperti dikutip situs Tempo, Leuan Andalver Noble, salah seorang Siswa Madrasah tersebut memperlihatkan T Bot kepada 12 pelajar sekolah menengah atas dari Amerika Serikat. T Bot adalah teleskop robot yang dirakitnya bersama dua rekannya dari Madrasah Techno Natura, Depok.

Para pelajar asing itu mengajukan banyak pertanyaan kepada Nobby, nama panggilan Noble, dari program yang digunakan hingga gambar yang dihasilkan robot pengamat benda antariksa itu.
Dibantu teman satu timnya, Habib Adib Wahono, Nobby menjawab pertanyaan yang diajukan lewat video tersebut. Para pelajar dari tiga sekolah menengah atas Amerika itu memang tidak berada di tempat yang sama dengan Nobby. Mereka berada di Exploration Gallery, AERO Institute, Palmdale, California, sedangkan Nobby dan 11 pelajar Indonesia lainnya berada di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

Madrasah Techno Natura memang bukan lah sekolah main-main. Sekolah yang fokus kegiatannya di Mesjid Griya Tugu Asri, Depok Jawa Barat, ini menerapkan sIstem pembelajaran yang unik. Dalam kesempatan penulis bertemu salah seorang koorintaor MTN, beliau menjelaskan bahwa anak-anak dari Sekolah Dasar di MTN sudah diajarkan imajinasi yang tinggi. Dalam pelajaran eksakta misalnya. Peserta didik diajak untuk berkerasi seolah-olah mereka sedang menjadi perakit mobil. Mereka kemudian menggambar bangunan mobil dan menjelaskan apa keunggulan mobil yang mereka ciptakan dalam format prentasi kelas. Untuk anak sekecil itu? Ya No Dream Too High!

Aktivitas Bazar dengan Penjual Siswa-siswi SD Madrasah Techno Natura
Bahkan Siswa SD di sini sudah diajarkan bagaimana memiliki jiwa enteurpreneship. Jika anda menghadiri sebuah event di Komplek Griya Tugu Asri, kita akan melihat anak-anak SD yang jamak membuka stan bazarnya. Tampil percaya diri menjajahkan barang jualannya, dan mereka benar-benar menjadi penjualnya. Mereka diajarkan mandiri sedari kecil, memahami filosofi mengapa Rasulullah menjadi seorang pedagang.

Sekolah yang juga menjadi tempat penulis mengaji setiap minggu dan jum’at malam ini, tidak sembarangan mendidik guru. Mereka terbiasa belajar dengan alam, jika seorang guru tidak tahu pertanyaan murid, seorang guru cukup berkata “Nah, karena kakak tidak tahu jawabannya, yuk kita cari sama-sama”.

Andai Soek Hoek Gie masih hidup, saya haqqul yakin beliau tidak akan sempat melontarkan kata-kata, “Guru bukan dewa dan murid bukan kerbau”. Sebuah kekecewaannya terhadap gurunya di Kanisius. Karena di MTN, guru dan murid bisa menjadi “dewa” secara berbarengan.

Pintar dengan fondasi Islam

Pintar, cerdas, pandai, menurut Islam tidak hanya dinilai dari aspek kognisinya saja. Islam tidak menyediakn jurang bagi siswa pandai tapi terperosok akhlaknya. Islam memandang pintar lebih menyeluruh dari definisi dunia. Islam pun punya visi yang jelas, dimana standar kepintaran mestilah berfundamen dari alas keIslaman yang jelas.

Hasilnya, bisa kita tebak. Dimana bumi dipijak, “kepintaran” seorang muslim tidak boleh melunturkan akidah dan tauhidnya. Seorang siswa dengan memilki basis Islam yang kuat akan dengan jelas melihat berbagai fenomena dengan worldview keIslamannya.

Kasus tawuran antara dua kubu sekolah favorit yang bertetangga di Blok M, lalu konflik antara sesama mahasiswa Universitas Negeri Makasar mesti menyadarkan jiwa muslim kita. Bahwa menjadi cerdas secara dunia belumlah cukup. Pun cerdas secara spiritual ala Danah Zohar. Sebagai muslim, standar kecerdasan kita sudah jelas, tidak bisa campur sana-sini antara berbagai agama.

Dalam sebuah kajian Tazkiyatun Nafs. Islam telah memberi sinyal kepada kita bagaimana memaknai kepintaran yang dapat merebut dua gayung sekaligus dan menyiramnya bagi kesuksesan hidup dan akhirat.

Menurut Baginda Nabi Muhammad SAW, “Orang yang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal (berbuat) untuk masa sesudah mati, Sedang orang yang lemah ialah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”. (Hadis Riwayat Ahmad)
Menurut Hadist ini, kecerdasan sesorang dapat diukur dari kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsunya (cerdas emosi) dan mengorientasikan semua amalnya pada kehidupan sesudah mati (cerdas spiritual). Mereka yakin bahwa ada kehidupan setelah kematian, mereka juga percaya bahwa setiap amalan di dunia sekecil apapun akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt.

Nah dengan visi ini, sudah saatnya guru, kepala sekolah, pemerintah, melakukan kependidikan atas dasar takwa dan Iman. Bukan sekedar jargon, tapi implementasi. Dan tidak cukup mereka, karena pendidikan adalah tugas wajib bersama.

Wallahua’lam. Selesai.

LULUSAN TERBAIK UN DAN KEPINTARAN YANG TEREDUSIR: MONOPOLI KOGNISI DALAM STANDAR KECERDASAN DAN TANTANGAN BAGI UMAT (PART I)

Oleh, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Konselor Muslim

Nasib Shelly Silvia Bintang kini berbalik 180 derajat. Dua minggu lalu, harapannya masuk Fakultas Kedokteran tipis karena masalah dana. Kini harapannya itu muncul kembali setelah ia membuka ketidakberpihakan dunia pendidikan kita terhadap siswa tidak mampu di tanah air.

Ya kata-kata di atas di tulis oleh Jawapos setelah Shelly Silvia Bintang, bintang siswa terbaik dari Bali, mendapat angin segar. Shelly yang sebelumnya berharap nasib mengantarkannya ke Fakultas Kedokteran Prodi Pendidikan Dokter menghadapi dilema. Shelly merasa asanya putus setelah kendala dana hanya mampu mengantarkannya merajut cita pada jurusan Kesehatan Masyarakat. Beruntunglah Shelly termasuk dari lusinan siswa dengan nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi se-jagad Nusantara.

Ekses daripada hal tersebut, gadis berkacamata ini mendapat kesempatan tatap muka bersama presiden SBY. Momen ini dimanfaatkan Shelly untuk curhat atas kegalauan hatinya meratapi kenyataan bahwa cita tidak sesuai perkiraan. SBY yang mendengar keluh kesah Shelly kemudian berjanji memberi jaminan bahwa Selly akan dapat memasuki Fakultas Kedokteran di Universitas Udayana, Bali seperti yang diinginkannya. Ini belum dihitung uang akomodasi dan jajan selama Shelly berubah status saat kelak menjadi mahasiswi di kota wisata tersebut.

Shelly tentu tidak sendiri bertemu SBY sebagai siswa berprestasi. Wildan Rabbani, pelajar SMAN 1 Gresik mendapatkan hasil UN yang luar biasa. Semua nilai mata pelajarannya tergolong spektakuler. Nilai terendahnya adalah 9,00 untuk bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa Inggris (9,20). Ia mampu menggilas fisika (9,75). Melumat kimia (9,75). Merajai biologi (9,50) dan puncak selebrasinya mentok pada angka 10,00 untuk pelajaran matematika.

Menurut keluarga, selama tiga tahun belajar di SMAN 1 Gresik, Wildan selalu mendapat beasiswa. Sekolahnya pun gratis. “Sekarang dia tinggal menunggu penerimaan dari Fakultas Kedokteran UI.” Lanjutnya.

Jika Wildan mendapatkan nilai 10, Shelly Silvia Bintang tampil dengan nilai yang juga mengesankan. Catatan nilai itu dimulai dari Bahasa Indonesia dengan kumulasi 9.60. Bahasa Inggris 9.80. Matematika 9.50. Fisika 9.75 Kimia 9.75. Dan terakhir adalah Biologi dengan nilai 9.50. Total Shelly mendapatkan nilai 57.90.

Mengetahui tampilan nilai dari anak bangsa pada ambang batas kesempurnaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengundang mereka ke Istana. Selain mewawancarai mereka, Pak SBY turut memberikan hadiah komputer jinjing atau laptop bagi para pelajar sekolah menengah yang lulus ujian akhir nasional 2010 dengan nilai terbaik tingkat nasional.

Lulusan Terbaik harus ke Fakultas Kedokteran?

Tentu kita harus mengucapkan selamat kepada adik-adik kita yang mendapatkan perolehan nilai UN yang luar biasa. Prestasi mereka adalah satu benih bagi bangsa agar berkembang melalui pemupukan karakter yang kuat.

Namun decak kagum saya tidak berhenti disitu. Niat mereka berdua untuk melabuhkan diri di Fakultas Kedokteran rupanya seperti siswa terbaik kebanyakan. Saya menjadi berfikir nakal kenapa ya lulusan terbaik UN dari tahun ke tahun akan tergiring ke Fakultas Kedokteran?

Kita ketahui bersama, Fakultas Kedokteran dimanapun adalah sebuah fakultas favorit serta bergengsi. Selain fakultas termahal, bagi sebagian orang dipercaya memiliki masa depan menjanjikan. Walau ini belum final. Tapi opini publik berkembang ke arah sana.

Ini bisa dilihat pada banyak kasus, dimana para wali murid biasanya akan memasukkan anak mereka ke IPA saat jenjang SMA, semata-mata berharap dengan begitu sang anak bisa masuk Ke Fakultas Kedokteran di kemudian hari. Sayangnya, orangtua mengabaikan potensi murid. Selama saya menjadi konselor, tidak sedikit peserta didik dengan kemampuan MIPA (Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam) pas-pasan akhirnya mesti menelan pil pahit. Kompetensi mereka yang sebenarnya lebih tepat di IPS mesti dikubur dalam-dalam demi membahagiakan orang tua.

Imbasnya, sudah dapat ditebak. Mereka keteter saat mengikut pembelajaran. Nilai fisika mereka jeblok. Pada akhir pembagian rapot para wali murid disuguhkan catatan merah pada susunan angka pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Ironis memang.

Kalau sudah begitu masalahnya, lantas kita sah-sah saja berpikir ekstrem: Dokter macam apa yang akan dilahirkan produk peserta didik yang memang bukan on-nya di kajian eksakta? Penulis bukan sedang bicara sarkastik, tapi kita harus sejenak merenungi hadis familiar nabi.

“Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).

Problemnya kemudian, banyak masyarakat tergiring mendefinisikan Fakultas Kedokteran sebagai fakultas yang paling dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dengan menjadi dokter, setiap insan memiliki peluang lebih lebar memberikan sumbangsih lebih besar kepada insan lainnya dibanding profesi lainnya. Tidak salah memang, niat menjadi dokter itu sangatlah mulia. Seperti sekelompok dokter muslim yang berlabuh di MER-C. Mereka dikenal sangat gigih dalam membantu para saudara semuslim di wilayah konflik.

Namun persoalannya benarkah Fakultas Kedokteran akan lebih banyak bermanfaat bagi banyak orang? Tunggu dulu. Kita perlu diskusi. Kalau perlu panjang. Bukankah hadis yang berbunyi “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” bermakna netral? Bukankah hadis terebut tidak spesifik menyebut profesi “dokter”. Sekali lagi penulis bukan bermaksud memojokkan kawan-kawan seprofesi dokter. Akan tetapi banyak fenomena keliru berkembang di kalangan umat dalam memaknai profesi dokter.

Kejadian ini penulis alami betul. Bukan satu-dua siswa yang masuk ke kedokteran atas alasan jaminan masa depan seperti penulis singgung di awal tadi. Oleh karenanya, tinjauan ulang ini bisa menjadi perlu dilakukan mengingat obat dan ongkos berobat yang mahal, dan pemandangan emperan masyarakat miskin yang tergeletak di ruang luar Rumah Sakit. Belum lagi fenomena kongkalikong bidang medis yang kini tengah menguasai global.

Lulusan Terbaik dan Tantangan Umat

Saat penulis mengikuti bedah buku Api Sejarah II, karangan Pak Mansyur Suryanegara di Islamic Book Fair beberapa bulan silam. Penulis dibuat kaget oleh ucapan DR. Adian Husaini, bahwa kedepan orang tua yang memiliki anak-anak pintar jangan melulu mengarahkan labuhannya ke bidang kedokteran. Tapi arahkan ke sejarah!

Penulis menimbang-nimbang statement “unik” itu. Saat dirasa cukup waktu, rupanya ucapan beliau memiliki efek logis. Mengingat minimnya para pakar sejarah. Kita banyak memiliki doktor bidang MIPA, Sosial, dan Teknologi, tapi umat ini rasanya belum lagi melihat Doktor bidang Sejarah. Bahkan dalam kesempatan itu DR. Adian bertanya kepada peserta, “Adakah Doktor Sejarah Islam keluaran Timur Tengah?”

Semua peserta seminar menggeleng.

Ucapan Doktor bidang Peradaban Islam dari ISTAC Malaysia itu senada dengan uraian Tiar Anwar Bahtiar. Calon doktor sejarah dari UI ini, seperti dikutip ArRahmah.com, mengatakan bahwa umat yang unggul adalah umat yang mengerti spirit sejarah para pendahulunya. Oleh karena itu sejarah adalah satu pilar penting dalam membangun suatu peradaban. Sebab selain akan melahirkan spirit untuk terus berkembang, pengetahuan sejarah akan menjaga generasi yang akan datang dari penyakit disorientasi dan inferiorisme, sehingga tetap bisa eksis dalam segala zaman tanpa harus menanggalkan identitas dan keyakinannya.

Tiar Anwar melanjutkan bahwa sikap abai umat Islam ini telah terbukti dengan banyaknya buku-buku sejarah yang beredar di pasaran tentang Indonesia yang justru ditulis oleh sarjana-sarjana Belanda yang notabene pernah menjajah bangsa Indonesia. Penulisan sejarah semacam ini tentu sangat rawan distorsi dimana secara empiris-historis, umat Islam selalu dianggap sebagai pihak yang menjadi penghalang berbagai kepentingan kolonial Belanda.

Akhirnya jika kita mau melihat buku-buku sejarah Indonesia, seolah-olah Indonesia itu adalah Hindu dan bukan Islam.

Penulis menilai kondisi ini amat berbahaya. Karena kejadian itu masih berlangsung hingga detik ini. Di tengah maraknya rekayasa Sejarah dari buku-buku pelajaran kita, kita justru malas belajar Sejarah apalagi untuk mengkritisi kepada hal-hal kecil namun vital. Contohnya kenapa Hari Kebangkitan Nasional jatuh pada hari lahir Boedi Oetomo (BO)? Padahal sejarahnya BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2). BO pun bersifat kesukuan yang sempit, karena terbatas hanya Jawa-Madura. BO pun berbahasa Belanda, ini dapat dilihat dari anggaran dasar BO yang ditulis dalam bahasa Belanda. Dan BO baru lahir pada 20 Mei 1908.

Kenapa kemudian sejarah kita juga tidak merujuk pendirian Syarikat Islam (SI) sebagai Hari Kebangkitan Nasional. SI pun bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia. Ada Sangaji dari Ambon. Ada Agus Salin dari ranah Minang, dan Adapula Cokroaminoto dari Jawa. Berbeda dengan BO yang berbahasa Belanda, SI memakai bahasa Indonesia, anggaran dasarnya pun ditulis dalam bahasa Indonesia.

Sikap SI dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan lebih riil dari BO. Boedi Oetomo sendiri tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri tahun 1935. Untuk perjuangan Islam? apalagi. Syarikat Islam membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya, dan lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905, dengan nama awal Syarikat Dagang Islam.

Pentingnya sejarah juga dapat dilihat dalam mengkritisi lahirnya Hari Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan. Padahal banyak tokoh-tokoh perempuan yang sudah bergerak lebih riil dari RA Kartini. Sebutkah nama Rohana Kudus. Jika Kartiini hanya mampu menulis surat-suratnya, Rohana Kudus bergerak lebih maju dengan mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.

Rohana Kudus pun menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
Belum usai dari itu, Rohana Kudus pun menerbitkan surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Bahkan menurut catatan sejarah, Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan. Itu tentu jauh jika dicompare dengan rekam jejak Kartini dalam memajukan perempuan.

Tiar Anwar Bahtiar yang juga peneliti INSISTS, berusaha menelisik lebih jauh untuk mempertanyakan alasan dibalik penokohan yang kuat pada Ki Hajar Dewantoro yang dijadikan ikon pendidikan dalam sejarah anak-anak didik kita. Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan i ng ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia? “Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya. Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya.

Ekses dari hal tersebut, kita menjadi umat muslim yang mengalami amnesia sejarah. Orang yang mengalami amnesia sejarah akan terputus dari akar historisnya. Saat kultur peradaban muslim kita tercerabut, tidak mustahil kita berubah bentuk menjadi manusia pilihan-pilihan dunia yang disibukkan dengan problem sesaat.

Oleh karenanya, sejarah adalah bagian tersendiri yang justru dapat menjadi ladang dalam memenuhi hadis nabi tadi. Tidak kemudian kita hanya terjebak pada bidang kedokteran semata atau ilmu-ilmu eksak lainnya. Inilah salah satu tantangan umat kedepan. Kita mesti sadari banyak penggarapan ilmu-ilmu Agama khususnya Sejarah Islam yang sedang menanti untuk diisi lulusan terbaik bangsa. Percayalah tidak ada ilmu yang sia-sia, apalagi demi menyadarkan umat sekaligus membangun agama kita. So, masihkah kita berfikir Fakultas Kedokteran adalah segalanya?

Piala Dunia, Teologi Yahudi, dan “Gaza tidak Butuh Kita”

Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi

“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling“. (QS. Al-Baqarah [2]: 83).

”Kita ngomong Palestina hanya anget-anget tai ayam”. Ustadz Zain An Najah

Saya tanya pada anda, apa persamaan antara Piala Dunia dengan Pilkada? Sama-sama menghabiskan uang? Bukan… Sama-sama butuh kerja keras? Hampir.. Sama-sama butuh uang suap? Yang itu pasti, tapi laeenn. Lalu apa? Sama-sama memakai peran dukun

Mistisme Yahudi dalam Piala Dunia

Piala Dunia (PD) memang bak Pilkada. Riuh rendah mewarnai konstelasi permainannya. Dari kericuhan, adu jotos, hingga dunia mistis. Uniknya, ini bukan mistis skala lokal, tapi dunia. Tapi sama-sama butuh angka. Kalau Pilkada butuh jutaan suara, Piala Dunia lebih kompleks lagi. Di sini quick count tidak bisa menembus kepastian suara.

Selama sejarah bergulir, aroma mistisisme Piala Dunia sangat kencang berhembus. Bagi anda pecinta Indonesia, mungkin pernah mendengar bahwa Hindia Belanda yang dulu mengatasnamakan Indonesia pada Piala Dunia 1938 Perancis, pernah membawa boneka yang digantung pada jala gawang Mo Heng (penjaga gawang Hindia Belanda). Boneka itu telah kadung dianggap sebagai jimat. Ironisnya, mereka percaya saja. Kenyatannya, boneka tersebut memang tidak pernah membawa keberuntungan. Yang terjadi adalah Hindia Belanda babak belur dibantai Eropa.

Piala Dunia 2010 pun tidak lepas dari sentuhan para dukun. Sebelum perhelatan Piala Dunia, pihak panitia dengan bantuan para dukun Zulu telah memberkati Stadion Soccer City dengan ritus memotong seekor sapi. Penerapan ritual magik ini ditujukan agar stadion aman dan membawa keberuntungan bagi "Bafana-Bafana", julukan Tim Afrika Selatan. "Sepertinya ada nasib baik untuk Afrika Selatan. Lihatlah, tidak akan ada masalah. Tidak akan ada bom," begitu kata seorang dukun berusia 33 tahun sambil menunjuk ke arah sebuah tulang jari yang tergeletak jauh dari kumpulan tulang yang berserakan di lantai sebuah stasiun bus.

Ternyata, kejadian itu tidak hanya dominasi Selatan Afrika. Sebelumnya di Pantai Gading ada kejadian serupa. Para suporter mengunjungi hutan suci. Durasinya, dua atau tiga kali seminggu untuk mendukung tim. Bahkan salah seorang dukun di sana, juga melakukan pemotongan sapi bagi kemenangan Didier Drogba Cs di Lapangan Hijau. Ironisnya, perjalanan kesebalasan kedua negara itu hanya mentok pada babak penyisihan Piala Dunia 2010 ini.

Dalam tradisi Yahudi, pemotongan sapi dipersembahkan untuk iblis. Di Israel, kini para zionis tengah mempersiapkan pemotongan sapi apabila Kuil Solomon pada kemudian hari berdiri menggusur Masjid Al Aqsa.

Menariknya, tradisi pemotongan sapi direkam dalam ucapan Rasululllah. Abdurrazzaq menjelaskan bahwa Rasulullah berkata, “Kaum musyrikin dahulu sering menyembelih sapi atau kambing di pekuburan.” (HR. Abu Dawud nomor 3222 dengan sanad yang shahih).

Yang dimaksud dengan aqra’ dalam hadits tersebut adalah menyembelih di pekuburan sebagaimana tradisi orang kafir jahiliyah. Al Khaththabi mengatakan, “Kaum jahiliyah dahulu sering menyembelih unta di samping kuburan seorang.” (Lihat keterangan lebih lanjut dalam Aunul Ma’bud 9/30-31)

Satu-satunya pelatih dari Eropa yang memahami kultur Afrika dalam sepak bola mungkin hanya Philippe Troussier. Mantan pelatih timnas Nigeria, Afrika Selatan, Burkina Faso, dan Maroko ini tak ragu mengikuti upacara ritual para muti. Ia pun sukses melatih dan dijuluki sang dukun kulit putih.

Pelatih yang melarang pemain intinya berzodiak scorpio
Serupa tapi tak sama, hal itu mirip dengan apa yang dilakukan Raymond Domenech. Bagi saya, pelatih negara mayoritas muslim terbesar di Eropa ini adalah pelatih paling kontrovesrial sepanjang perjalanan Tim Nasional Perancis.

Kekalahan Perancis dalam dua event, yakni Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010 adalah buah dari betapa kuatnya kepercayaan Domenech atas takdir dunia perbintangan. Ia dituding tak realistis saat memilih 23 pemain dengan berdasarkan pada dunia astrologi. Domenech sangat menghindari memanggil pemain dengan zodiak Scorpio. Tak heran jika Robert Pires, Ludovic Giuly, Podreti, dan Micoud tak pernah menjadi prioritasnya. Tak masuknya Samir Nasri dan Karim Benzema pun semata-mata karena ramalan bintang. Padahal dua pemain Muslim itu, adalah ikon pemain muda perancis yang cukup bersinar di Liga Inggris dan Spanyol.

Kegilaan Domenech itu harus dibayar mahal. Kekalahan beruntun Perancis di Piala Dunia 2010 memprovokasi para pemain untuk memboikot latihan. Bagi para punggawa Tim Ayam Jantan ini, mungkin Domenech adalah Pelatih terkonyol selama mereka mengadu kaki di lapangan hijau. Kasus ini, sampai-sampai memaksa Peradana Menteri Perancis, Nicholas Sarkozy, turun tangan. Ia meminta pemain untuk tetap tenang. Namun yang jelas, ketua FFF (PSSI Perancis), telah mundur dari kursi jabatannya.

Samuel, Maradona, dan Messi: The Jewish Message

Tim Yahudi?
Lain lagi kasusnya dengan Argentina. Ada hal yang menarik dalam tim ini. Salah seorang punggawa lini belakang Abiceleste (Tim biru muda) adalah seorang Yahudi tulen. Walter Adrian Samuel lahir pada tanggal 23 Maret 1978 di Firmat, Santa Fe, Brasil. Simbol-simbol Yahudi terlihat jelas dari nomor punggung yang ia pakai di timnas dengan corak kostum biru muda-putih ini. Pada era tahun 2000an, Walter Samuel adalah pemain yang mencitai angka 6. Lho ada yang salah dengan nomor punggung genap itu? Permasalahannya, ini sepakbola bukan matematika. Dalam tradisi kostum sepakbola, angka pada pemain sepakbola akan menempel pada tiga tempat: dada, celana, dan punggung. Alhasil apabila ketika tempat itu disatukan, hasilnya menjadi 666. Lho, bukankah saat Argentina melawan Mexico dua hari yang lalu nomor enam tidak lagi milik Walter Samuel? Tepat, karena Walter Samuel sekarang memakai nomor 13! Angka yang juga keramat dalam tradisi Kaballah!

Baiklah, sekarang kita beralih kepada Allenatore (Baca: Pelatih). Anda percaya bahwa arsitek Timnas Argentina sekarang adalah seorang ”Tuhan”? Tidak pernah ada dalam sejarah Piala Dunia bahkan sepakbola, bahwa seorang Pelatih dianggap Tuhan sekaligus Yesus. Sekaligus pemain Sepakbola. Agama Maradona memang tidak pernah di-SK-kan oleh Maradona sendiri. Tapi Maradona harus menerima kenyataan bahwa agama yang memakai namanya itu memiliki 10 Perintah Tuhan: sama seperti Yahudi. Bedanya 10 perintah di agama Maradona berisi: 1. Bola tidak boleh kotor, seperti telah diproklamasikan oleh D10S. D1OS adalah singkatan dari Diego 10’s. Dios berarti sama artinya dengan Tuhan dalam bahasa Spanyol. 2. Cinta sepakbola atas segala sesuatu 3. Menyatakan cinta tanpa syarat pada sepak bola. 4. Mempertahankan warna dari argentina 5. Menyampaikan kata-kata D10S seluruh dunia 6. Berdoa di kuil-kuil di mana ia berkhotbah dan di mantel suci 7. Jangan menyatakan nama Diego di satu-satunya klub. 8. Ikuti ajaran Gereja Maradonian 9. Biarkan Diego akan nama-Mu, dan menjadi salah satu dari nama anak-anak Anda 10. "No ser cabeza de termo y que no se te la Tortuga melarikan diri." (Artinya, jangan jadikan kepala panas dan simpanlah di dalam celana)

Kronologis munculnya agama Maradona mungkin adalah sejarah terlucu dalam sejarah berdirinya sebuah agama. Alkisah, pemain cebol ini berhasil mengantar Argentina menjadi Juara Dunia tahun 1986. Sebelumnya, saat melawan Inggris, Maradona berhasil menceploskan gawang ke jala Inggris melalui tangan tanpa sepengetahuan wasit. Padahal dalam peraturan sepakbola, memegang bola dengan tangan sudah jatuh haram (baca: pelanggaran).
Ritus Agama Maradona


Agama ini kemudian resmi didirikan pada tanggal 30 Oktober 1998. Kini menurut perkiraan, Agama Maradona mereka memiliki 15.000 pengikut (Jangan-jangan salah satunya adalah anda?).

Replika gereja agama Maradona (Iglesia Maradonina) pun memiliki tiang ganda. Menurut Harun Yahya, bagian dekor loge Masonik yang sangat diperlukan adalah tiang ganda di pintu masuk. Kata “Jachin” dan “Boaz” dipahatkan di atasnya, sebagai tiruan dari dua tiang pada pintu masuk Kuil Sulaiman. Asal usul tiang-tiang ini lagi-lagi berasal dari Mesir Kuno. Di dalam sebuah artikel bertajuk “Alegori dan Simbol-Simbol dalam Ritual Kita”, majalah Mimar Sinan menyebutkan di Mesir, Horus dan Set merupakan arsitek kembar dan penopang langit. Bahkan begitu juga Bacchus di Thebes. Kedua tiang di dalam loge kita berasal usul dari Mesir Kuno. Salah satu tiang ini berada di selatan Mesir, di kota Thebes; yang lainnya berada di utara Heliopolis. Di pintu masuk kuil Amenta yang dipersembahkan untuk Ptah, dewa kepala Mesir, disebutkan dua tiang, dinamai kecerdasan dan kekuatan, yang didirikan di depan gerbang masuk keabadian.

Maradona memang menjadi kontroversi pasca gol tangan tuhannya (baca: Gol dengan menggunakan tangan). Uniknya, Maradona mengunjungi Israel dan berdoa di Tembok Barat sebelum turnamen, dan melakukannya lagi menjelang turnamen 1990. Ironisnya, tahun 1990 ia kalah di final. Lalu kenapa Thiery Henry dan Luis Fabiano yang juga menggolkan lewat tangan tidak dianggap Tuhan? Kalau begitu ada masalah di sini. Berarti, agama Maradona adalah overdesis teologis.

Namun kini era telah berganti. Lionel Messi, pemain terbaik Eropa tahun lalu ini sudah menjadi kultus baru sebagai titisan Maradona zaman Milenium. Kedekatan emosional Maradona terhadap Messi memang kuat. Bak anak, Messi adalah anak kandung sekaligus bak ”anak tuhan” bagi Maradona.
Jerusalem Post seperti dikutip eramuslim.com, bahkan menurunkan laporan tentang Messi dilihat dari perspektif Kabbalah Yahudi. Menurut Kabbalah, tanggal lahir Ibrani berdampak signifikan terhadap kehidupan dan takdir mereka. Messi dilahirkan jam 20:20 pada tanggal 24 Juni, 1987 yang berarti bahwa ia mempunyai tanggal Ibrani: 28 Sivan 5747

Jika kita mengeja nama Messi dalam bahasa Ibrani, dapat juga dibaca sebagai bentuk singkatan dari yud mispar - nomor 10. Yud 10 adalah huruf abjad Ibrani dan memiliki nilai numerik 10, baik dalam gematria (numerologi Kabbalistik) dan dalam kehidupan sehari-hari. Kelas kesepuluh, misalnya, dalam bahasa Ibrani, adalah Kita Yud. Surat yud di Kabbala mengacu pada yad, yang berarti "tangan.
Pertanyaannya, apakah Messi juga nanti akan dianggap Tuhan? Mengutip, apa kata komentator sepakbola: Bola itu bundar, segalanya bisa terjadi.

Three Lions dan Beckham.

Kita terbang ke Inggris. Saya tidak akan banyak berbicara Intrik simbolis Yahudi dalam tim Inggris. Namun yang jelas sebuah buku Biografi Beckham cukup membuat geger pecinta pemain tempan tersebut.

Dalam buku biografi pertamanya, My World, Beckham bicara tentang betapa darah Yahudi kakeknya itu mempengaruhi kehidupan pribadinya. Beckham mengatakan bahwa, ”Saya mungkin mempunyai hubungan yang lebih banyak dengan Yudaisme, daripada dengan agama-agama lain.”
Selanjutnya, mantan pemain AC Milan ini juga mengatakan, bahwa “Saya suka mengenakan topi tradisional Yahudi semasa kanak-kanak, dan juga menghadiri pernikahan-pernikahan orang Yahudi bersama kakek saya.” Kutip media Israel JC.com (10/12/09).

Dan ketika Bekcham hadir di pemakaman mengenakan kippah, yang katanya peninggalan si kakek, kegembiraan diekspresikan orang-orang Yahudi dengan memuatnya di berbagai laman web mereka. Seorang blogger Yahudi di Israel menulis, “Jadi, kippah rupanya sudah nyaman bertengger di kepalanya.” Lebih jauh ditulisnya, Victoria–istrti Bekham–yang bukan keturunan Yahudi bahkan telah membuat tato Hebrew di tubuhnya: ‘Ani L’V'Dodi Dodi Li, HaRoeh BaShoshanim’, dari Kidung Agung 6:3.

Kini Beckham menjadi asisten Fabio Capelo, pelatih Inggris. Logo tim mereka adalah tiga kepala singa sedang menghadap ke depan dengan background salib templar.

Piala Dunia bukan untuk Dunia Islam

Kita kembali lagi ke Afrika hanya untuk melihat seorang penonton dari Negara Slovenia sedang celingak-celinguk ke sisi samping. Selama saya memperhatikan pergelaran yang menhhabiskan dana puluhan trilyun itu, tidak biasanya seorang penonton Piala Dunia 2010 berjalan hilir-mudik. Ia keluar dari tribun penonton bukan karena Slovenia kalah. Sebagai muslim, ia mencari mushola atau setidaknya tempat yang layak untuk shalat. Waktu sudah masuk Ashar. Semua penjaga stadion tampak kebingungan. Mana ada tempat shalat dalam stadion? Hatta di Stadion Senayan Indonesia (Baca: negara mayoritas muslim) saja tidak ada. Akhirnya, pendukung Slovenia itu shalat tidak jauh dari toilet.

Piala Dunia memang bukan untuk orang Muslim. Sepakbola adalah ”agama” sekaligus yang ”membunuh” agama. Dalam statuta FIFA, mustahil tertera item ketersediaan tempat ibadah sebagai syarat berdirinya stadion berlevel Internasional. Di Barat, agama adalah benalu. Sepakbola adalah alat pemotongnya. Akhirnya, kita biasa saja melihat pertandingan sepakbola lebih ramai dari Gereja. Di Indonesia, Stadion lebih semarak dari masjid. Pertandingan di negara kita masih dilaksanakan pada jam-jam shalat. Waktu permanen Liga Indonesia pada sore hari berlangsung saat shalat ashar. Pada jeda pergantian waktu, tidak jarang pemain sudah letih dan memilih untuk menunda shalatnya. Bahkan di Manchester United, tepat di depan Old Traford ada Patung pemain menginjak si kulit bundar dengan stempel, ”It’s Like Religion”.

Sepakbola memang sudah seperti agama. Dimana wasit bisa menjadi Tuhan untuk menentukan menang dan kalah. Kasus Calciopoli (pengaturan skor) yang dilakukan Juventus adalah salah satu ”Ibadahnya”. Yel-yel ”Lebih baik mati daripada Indonesia kalah” adalah ”zikirnya”, dan konvoi keliling kota saat tim kita juara adalah ”hari lebarannya”. Pertanyannya, dimanakah akhiratnya? Ya akhirat anda, pendukung Spanyol, Brasil, Argentina, Jepang, ternyata tetap sama: Yaumil Akhir!

Saya hanya ingin mengingatkan, sejarah Piala Dunia dalam beberapa perhelatan ke belakang. Seorang penulis geram. Ia berkata bagaimana mungkin kita lupa bahwa lebih dari 20 lelaki dan perempuan, termasuk di dalamnya wanita dan anak-anak, telah dibunuh oleh penjahat Israel dalam dua pekan terakhir, sejak pembukaan Piala Dunia 2006 empat tahun yang lalu. Tapi tak ada yang memberikan perhatian.

Sekarang sebesar apa ingatan kita terhadap Palestina? Seluas apa pandangan kita terhadap misi Yahudi di Piala Dunia ini dengan segenap produk penunjangnya? Masih ingatkah kita terhadap darah Umat Muslim yang masih segar bercecer di Mavi Marmara? Sepertinya, tragedi ini tenggelam seiring teriakan kita merayakan gol Spanyol ke gawang Chile. Sorak-sorai deru nafas kita memburu liukan Arjen Robben sebelum merobek jala Slovakia. Padahal 31 Mei 2010 adalah saksi sejarah kebiadan Israel yang telah menyerang kapal kemanusiaan, Mavi Marmara milik Turki yang membawa 500 relawan dan aktifis kemanusiaan peduli Palestina dari 30 negara menuju perairan Gaza. Sembilan orang syahid. Dan sayangnya, kita juga lupa pada Palestina. Kita lupa bahwa sampai sekarang Yahudi terus membangun terowongan di bawah Masjidil Aqsa. Meminjam ucapan Ustadz Zain An Najah, ”Kita ngomong Palestina hanya anget-anget tai ayam”.

Problemnya mungkin sederhana. Doa kita sudah berganti dari Palestina, ke Jerman juara. Kita mengadu kepada Tuhan, mengapa Italia berhenti di babak muka. Tapi kita enggan bermunajah, atau sekedar meminta ampun melihat sumbangsih kita terhadap Palestina yang belum seberapa. Padahal Palestina butuh anda dan kita. Ya anda yang pendukung Argentina. Anda yang pendukung Italia. Anda pecinta Kaka. Atau jangan-jangan benar kata Santi Soekanto, relawan dari Sahabat Al Aqsa itu, bahwa ”Gaza tidak butuh kita”

Wallahu’alam

TENTANG KISAH MENCARI KEBAHAGIAAN SEJATI: SEBUAH CURAHAN HATI SEORANG MAHASISWA ISLAM


 Oleh, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi

Apakah anda pernah menyaksikan film Band Of Brother garapan Steven Spielberg? Dimana bangunan runtuh dan betonnya menumpuk di daratan. Ya begitulah perasaan saya saat kali pertama menginjakkan kaki di Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Bersama dengan seorang teman yang satu Madrasah Aliyah, kami berjalan hati-hati sekali dan pelan melewati segundukkan puing bangunan yang berserakan disana-sini. Di depan kami terhampar bebatuan yang lebih menyerupai kontrakan pasca dihancurkan. Saya mencari tahu ada apa sebenarnya dengan kampus yang terkenal karena beberapa alumnusnya ini, jawaban baru saya ketahui ketika saya mengikuti awal-awal perkuliahan, bahwa IAIN sedang bermertamorFosa menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Jadi, gedung lama yang menyisakan tinta sejarah perjuangan mahasiswa harus dihancurkan karena gedung baru segera menanti untuk dibangun.

Saya bangga sekali diterima di sini, sedari awal cita-cita ini memang tertuju atas keinginan kuliah di kampus dengan aroma keilmuan yang kuat. Jika beberapa mahasiswa di kampus, lebih melihat pekuliahan sebagai syarat mendapat Ijazah, membunuh waktu, bahkan ada yang tidak minat di jurusan hingga tidak gigih saat menuntut ilmu, namun saya sudah menetapkan standar visi dan bagaimana nanti saya berkuliah jauh sebelum saya mengenal perguruan tinggi. Mungkin karena keluarga kami tergolong mencintai buku, banyak buku yang mewarnai garis pemikiran saya saat Aliyah dan apa makna kesuksesan masa depan. Kala itu saya sudah terinspirasi mau menjadi Hamka, Natsir, bahkan Sartre.

Awal-awal Kuliah di UIN
Jadi dulu awalnya ketika saya habis masa waktu menjadi anak Aliyah, perasaan saya kerap waspada jika akan masuk perguruan non pemerintah. Karena citra perguruan tinggi yang tidak sedikit miring dalam mendidik, baik dari moral dan kualitasnya. Oleh karena itu saya terlibat pada penilaian yang serba selektif sebelum menjatuhkan pilihan terhadap kampus yang akan dituju. Jangan sampai, saya masuk sekolah tinggi yang tidak bisa mengakomodir kehausan mendalam saya terhadap ilmu. Ah dulu begitu memang sombongnya, tapi jika dirasa memang tidak berlebihan pula. Karena garansi kampus akan berelasi dengan kualitas kita kedepannya.

Bulan berganti bulan, akhirnya saya menyesuaikan diri dengan gaya UIN yang lebih agamis. Mulai belalar ilmu Fiqh, Ilmu Kalam, Ulumul Qur’an, Ulummul Hadits, Sejarah Peradaban Islam, hingga sebuah mata kuliah “danger” teruntuk saya dan kawan-kawan yang bukan dari kalangan santri, Bahasa Arab. Namun kendati pelbagai ilmu-ilmu Islam menjejali, entahlah tak ada seebrsitpun rasa ini untuk mencintai Islam sepenuhnya. Saat itu saya pun heran bagaimana masa depan saya nantinya. Apa yang diharapkan dari Sarjana yang tidak mencintai Islam sepenuhnya?

Ketika tahun berganti tahun, saya menjelma menjadi mahasiswa UIN seperti para pendahulunya. Sebuah pengalaman berkuliah yang senantiasa diisi oleh kegiatan membaca, diskusi, kelompok, organisasi, dan mengunjungi perpustakaan. Namun kesemuanya masih dalam bingkai takluk terhadap hegemoni Barat. Bendera Kanadapun (baca: Barat) selalu berkibar di hati saya. Maklum di UIN ada perpustakaan McGill. Walau kala itu saya belum tertarik betul, masih mencari-cari.

Di UIN, saya berteman dengan mahasiswa-mahasiswa hebat seantero Indonesia, yang ketika bicara amat memukau, lengkap dengan cengkok khas intelektualisnya. Beberapa diantara mereka kemana-kemana selalu menenteng buku. Membaca Filsafat Perancis dengan mata temaram. Duduk bersandar dengan bentangan koran. Sesekali mengutip Plato dan dibenturkan dengan Aristoteles: bangunan peradaban kecil-kecillan yang kala itu massif di UIN.

Ada pepatah, bukan mahasiswa, kalau tidak punya organisasi. Terprovokasi oleh adagium tersebut, akhirnya semua organisasi saya jajahi semata-mata mendapatkan air ilmu yang bisa melenyapkan dahaga saya terhadap wawasan. Saya pernah berada di organisasi yang kanan, lalu ke moderat, berdiskusi di lembaga sosialis kiri, liberal, sampai aktif berbincang pada sebuah lembaga yang diisi mahasiswa senior jurusan Akidah Filsafat. Ketika diskusi dengan orang-orang itu, saya tak ubahnya sedang melihat sebuah kontrakan terbakar, karena seluruh ruangan dipenuhi asap rokok hingga kita bisa tersedak. Rambut merekapun rata-rata gondrong melewati batas punggung.

Menurut bocoran dari kawan saya, jika kita masuk ke komunitas itu, anak-anak semester awal akan “diplonco” dengan cara kami harus mempresentasikan tema yang sebenarnya baru akan kami terima di tingkat lima. Disana saya bersama seorang kawan, benar-benar digojlok menjadi seorang pecinta buku sejati. Saya ingat betul kawan saya yang baru semester satu itu harus menjelaskan tentang biografi Nabi Muhammad SAW di depan mahasiswa semester 9 Filsafat yang rada-rada ingkar Tuhan dalam penilaian saya. Bagaimana rasanya? Menegangkan. Serasa sidang thesis berlalu terlalu prematur.

Belum usai, perjalanan saya berlanjut ketika saya semakin takjub diantar seorang senior untuk melihat foto-foto Azyumardi Azra selagi muda, melihat rambut ikal Profesor Komaruddin Hidayat saat bujang, sebelum berangkat ke Turki dan sebelum menjadi Rektor UIN tentunya. Saban bulan puasa, kami kerap mengunjungi rumah “abang-abang” kami yang telah menjadi anggota DPR, salah satunya yang kini menjadi anggota Pansus Century. Di bawah tenda kami berkumpul dengan para jawara intelektual kampus dari ujung Jakarta, walau tidak semuanya, karena bau penjilatan politik tercium kental. Namun kesan itu semakin tertanam dalam benak saya, bahwa beginilah dialektika organisatoris dan jalan panjang menuju medan politik.

Pada level pegerakan saya pun tidak melewatinya, tidak canggih jika mahasiswa tidak berdemo begitulah kata orang-orang. Namun entahlah saya merasa tidak cocok, banyak mereka yang bicara kebenaran tapi di lapangan nyata apa yang dikatakan tidaklah sesuai kenyataan. Tidak sedikit banyak dari mereka malah jadi broker di kampus masing-masing. Jika demo tidak shalat dan berkata seenaknya. Walau saya "brengsek" saat itu, tapi urusan sholat alhamadulillah tetap berjalan. Saya tidak yakin jika masa depan diserahkan kepada mereka akan membawa dampak positif bagi bangsa. Tapi ironisnya mereka meminta agar tampuk anggota DPR lebih baik diserahkan kepada mereka. Benar kata Soe Hok Gie, politik itu bak Lumpur. Saya menyaksikan dengan mata telanjang tentang arti kemunafikan, belajar melihat arti ucapan belum tentu mesti sama dengan kenyataan. Ketika abang mereka ditahan atas kasus korupsi mereka tidak lantang lagi bicara kebenaran. Alibipun ditebarkan.

Lantas dalam pendalaman Islam dan Maknanya, saya dihadapkan pada tulisan-tulisan Almarhum Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang walau saya tidak paham, saya iya-kan saja. Ketika itu saya masih lugu untuk mengintrepetasikan kalimat “tiada tuhan selain Tuhan”, ya filsafat cadas dari Chicago itu. Saya seperti seorang anak dan sekawanan senior saya adalah seorang ayah yang menepuk-nepuk pundak anaknya, seraya berpesan “Nak, beginilah kalau kamu mau jadi orang cerdas”. Dan saya menikmati itu.


Westernisasi Pemikiran yang tidak Terelakkan

Hingga waktu berganti waktu, secara tidak sadar ternyata ilmu yang saya pelajari selama ini menghantarkan saya untuk singgah pada fase intelektual yang benar-benar mengadopsi pemikiran luar. Tanpa disadari saya lebih suka mengimitasi psikoanalisa tinimbang Al Ghazali. Naluri saya lebih bangga untuk membaca karya keluaran New York daripada Kairo. Bahkan mencicipi tulisan atheisme sains menurut saya lebih ilmiah daripada buku dengan bumbu wahyu di tiap lembarnya. Saya melihat kesemuanya itu karena kultur, kalau kata Gabriel Tarde, psikolog sosial, hal-hal semacam ini laksana naluri ilmiah jika kita berada pada suatu massa, karena indvidu akan mengikuti arus masyarakat yang ada.

Selanjutnya saya semakin menjadi-jadi. Bukan hanya berhenti untuk mengadopsi ilmu-ilmu produk asing, tapi kesemuanya bermuara pada tingkat kekaguman dan keterpesonaan seorang pemuda tanggung seperti saya terhadap Barat (baca: bisa juga nilai duniawi). Saya malah menyesal kuliah di perguruan tinggi Islam, kampus umum dengan segala perangkat keduniaannya menurut saya lebih membuka peluang untuk mendekati kebenaran.

Shalat tanpa makna, berislam terkesan ala kadarnya, dan membaca buku Islam jika ada hanya ada tugas adalah keseharian saya. Saya membaca buku-buku Islam, tapi tidak menikmati karena saya telah terlanjur cinta pada nama besar Freud, Jung, Erich Fromm, Descartes. Saya pun lebih menaruh kepercayaan pada positivisme, empirisme, rasionalisme, tinimbang The Philosphy of Islam. Jika anda bertanya pada saya tentang Islam, jangan harap saya bisa menjelaskan siapa itu Nabi Muhammad dan bagaimana sejarahnya, sebab saya lebih tertantang melakukan diskusi buku-buku teori filsafat Barat, psikologi dan sosiologi yang lahir dari perababan non Islami, dan mencoba mengedepankan kata “ilmiah” dahulu tinimbang Tuhan. Dan pada dasarnya, hal itu bukan untuk dikritisi dan kemudian diubah dengan semangat Islami seperti yang dilakukan Ismail Raji Al Faruqi. Namun saya mengkaji itu semua untuk saya praktekan kelak. Kalau kita mau berfikir ekstrim, saya adalah “musuh” Islam saat itu. Walau saya tidak sampai berikrar menjadi penganut atheis. Saat itu saya masih sholat, puasa, tidak pacaran, dan mencintai Allah. Akan tetapi, saya tidak bisa menghindari bahwa dalam benak saya ada sebuah mosi ketidakpercayaan terhadap ilmu Islam.

Melihat Cahaya Islam: Bahwa Fitrah itu ada

Namun dibalik itu semua, tak bisa saya terelakkan bahwa ada perkara ganjil yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa, kognisi saya selalu diganggu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer, seperti siapakah saya sebenarnya, untuk apakah saya hidup di dunia, kenapa saya selalu cemas, dan bagaimana nasib saya pasca dari dunia ini. Seribu tanya itu persis seperti Al Ghazali mempertanyakan tentang hakikat diri di Kitab Kimiyatul Sa’adah-nya. Hebatnya itu semua berjalan beriringan dengan kekaguman saya terhadap produk Barat itu. Hingga suatu ketika saya seperti ditampar oleh Allah, tepat ketika saya menerapkan keilmuan Barat saya dan mencoba merangkai kevalidannya. Ternyata Barat yang saya kagumi selama ini tidak ubahnya motor yang kehabisan bensin saat mendaki tanjakan. Ia tidak bisa menyelami makna terdalam dari kehidupan. Bukan hanya tidak bisa, ia memang tidak akan bisa, karena tumpulnya ketajaman pisau analisa-nya untuk mengupas hakikat problem jiwa manusia modern.
Dan saat saya menjalani sebuah muhasabbah dan berprofesi sebagai konselor, saya malah dihadapkan bahwa kekuatan Islam mampu menjawab apa yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu modern tersebut.

Islam tidak seperti konsep yang saya bangun sebelumnya. Karena pada fase ini saya melihat Islam itu nyata. Bahwa Tuhan itu “ada”. Bagaimana mungkin para konseli saya berubah dengan Islamic approach (pendekatan Islam), bukan dengan pendekatan yang berbelit-belit ala psikologi Perancis, London, dan Jerman itu. Saya menemukan thesa yang berbeda dari apa yang saya yakini selama ini. Karena sejujurnya, walau saya berada pada kampus Islam, tapi mata kuliah yang kami dapatkan dari ilmu keislaman masih minim. Sekalipun ada tidak sama sekali membuat saya yakin terhadap ketangguhan ilmu Islam. Islam cenderung teoritis. Namun dalam lapangan sebenarnya saya mendapati para konseli saya merasakan indahnya menyelesaikan problem hidup hanya dengan sentuhan nafas-nafas dzikir, shalat, dan tadabbur ayat-ayat Qur’an. Ya sekali lagi dengan pendekatan Islami, bukan Rasionalisme, Materialisme, dan Humanisme.

Saya pun terperangah, dan mencoba merasakannya sendiri dan memang ketika membaca Al qur’an, itulah moment paling tenteram yang pernah saya dapatkan. Inilah sebuah dampak psikologi yang nyata bagi diri saya. Ia masuk kedalam nurani saya tanpa diundang. Ia membius saya hingga rasanya ingin menangis, dan tak lama kemudian saya betul-betul terharu. Di situlah fase pemutar balikan tiga ratus enam puluh derajat tentang arti Tuhan yang sebenarnya dalam saintifisme saya. Saya seperti mahasiswa strata satu yang berjalan seorang diri di Wina, Austria, dan tak lama terdampar di sebuah Mesjid yang didepannya tepat berdiri patung Sigmund Freud sedang memakai topi.

Saat itulah saya bertekad untuk mengkaji Islam dengan cara pandang yang berbeda. Saya ingin menjadi ilmuwan yang fair. Saat itu saya masih memegang separuh prinsip sains, bahwa ketika ada suatu teori yang mematahkan teori sebelumnya, teori yang baru tersebut patut dikaji. Inilah dasar etika ilmu yang sejati, yang kadang sengaja ditutupi oleh beberapa kawan saya yang masih intens dengan keatheisannya. Saya berfikir positif saja, mungkin gemerlap materi yang membutakan mereka. Semoga bukan pertanda Allah menutup pintu hidayah.

Belajar Islam dari Awal dan Ikhtiar menjadi Konselor Muslim

Sejak itu haluan kapal saya berubah, saya ingin menjadi ilmuwan Muslim. Saya belajar Islam dari awal lagi, dari a’, ba’, ta’ lagi. Dari Al Baqoroh lagi. Dari Bab Tharah lagi. Niat saya harus suci, tulus, dan ikhlas. Saya berkembang menjadi pribadi yang merasa tidak lebih pintar dari anak TPA sekalipun. Iri dengan para santri yang sangat nikmat sekali mempelajari dinul Islam di pesantren-pesantrennya. Gelora saya dibakar kekuatan tauhidi untuk mencari mutiara keislaman yang terpendam dalam jutaan buku karangan manusia.

Saya belum puas. Lantas tergerak untuk menghabiskan setengah waktu untuk membaca gemintang hadis yang menyala-nyala. Merasakan indahnya kekuatan Iman dari ilmu-ilmu Islam yang mempesona. Saya kumpulkan itu semua walau mesti tertatih-tatih dan layaknya tukang sapu tengah memungut beras tumpah yang butirnya bisa menggelending ke sudut-sudut trotoar. Setelah itu saya susun menjadi bangunan keilmuan Islam yang masih amat sederhana, bernama psikologi Islam dengan landasan prakteknya melalui pendekatan konseling Islam.

Jadilah dari pengembaraan itu saya demikian yakin untuk menyimpulkan bahwa keajaiban Islam tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Bahwa kekuatan Islam bukanlah kekuatan sepele yang hanya dapat dikur dari kebahagiaan semu. Terlalu murah jika untuk hal itu. Karena saya sudah merasakannya, walau di UIN saya pernah menampuk kursi paling vital di jajaran organisasi kampus (baca: semacam MPR kampus) dan memiliki keilmuan yang cukuplah di atas rata-rata kawan saya, tapi saya tetap cemas, dan galau. Dalam kasus politik misalnya, intrik politik lebih banyak bermain ketimbang etika, padahal mereka-mereka juga orang hebat, lahir dari pesantren, mantan-mantan ketua BEM. Jika demonstrasi teriak pro kebenaran dan pro rakyat, penyambung lidah nurani, dan banyak memakan gizi dari ilmu Barat, tapi entahlah secara akhlak belum bisa saya simpulkan baik.

Dalam kasus ilmu, jika ilmu-ilmu modern yang saya pelajari amat berbelit-belit. Islam ternyata pada sisi penerapannya amatlah sederhana tapi sangat mendalam dan tepat. Dzikir yang kita maknai hanya sekedar ucapan, apabila dilakukan dengan penuh syahdu, itulah sebenarnya kenteraman yang kita cari selama ini, yang sebelumnya telah susah payah kita cari dengan uang, yang sebelumnya kita begitu terpana keukeh mencarinya di paras-paras wanita dan lelaki kaya, yang sebelumnya jatuh bangun kita mencarinya dari beringasnya kedudukan dunia. Dan saya baru dapati dari seorang Ustadz bahwa semakin gigih kita mengejar dunia, semakin jatuhlah kita dalam kuburan fana yang sebetulnya menipu. Karena pada substansinya, dunia hanyalah senda gurau seperti tertera dalam firman Allah,

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut ayat 64)
Bahkan Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata:”Bilamana manusia menemui ajalnya, maka saat itulah dia bangun dari tidurnya”. Sungguh tepat ungkapan beliau ini. Sebab kelak di akhirat nanti manusia akan menyadari betapa menipunya pengalaman hidupnya sewaktu di dunia. Baik sewaktu di dunia ia menikmati kesenangan maupun menjalani penderitaan. Kesenangan dunia sungguh menipu. Penderitaan duniapun menipu.


Sebagai seorang yang kadung belajar karakteristik manusia dan psikologi massa. Saya paham hal ini tidak bertahan lama jika saya tidak berada pada satu komunitas yang akan menunjang iman saya, ini penting. Mulailah saya membangun fondasi awal lagi tentang iman dan arti pergaulan. Jika dulu saya asal pilih teman, kini saya memberanikan diri bergaul dengan orang yang soleh dan mengikuti majelis-majelis ilmu yang mendekatkan saya kepada tali takwa. Karena menurut Baginda Nabi Muhammad SAW, arti teman amat penting bagi tiap mukmin. Jika kita bergaul dengan tukang minyak wangi, maka harumlah kita. Lalu untuk penanaman ilmu pun tidak kalah penting, karena menurut Al Ghazali ilmu adalah pilar menuju jiwa yang sehat.

Saya merasa tenteram menerapkan filosofi sederhana tapi vital itu. Dan kunci untuk menemukan itu ialah bagaimana kita bisa mengenali diri kita sendiri. Siapa kita, apa tujuan kita, kenapa kita cemas, kenapa kita selalu gelisah, kenapa kita marah, kenapa kita selalu kesal, kenapa masalah sepele jadi besar. Dan anda mau tahu jawabannya? Tidak lain jawaban sebenarnya ada pada diri kita sendiri. Ini bukan humanisme yang menuhankan manusia, tapi pengenalan diri dalam Islam yang jauh lebih manusiawi dan mengandung nutrisi fitrah dari segenap ilmu yang pernah ada. Karenanya, Syekh Abdul Hamid Al Ghazali menaruh bab Pengenalan Diri pada bab awal kitab kimia kebahagaiaannya, inilah kunci awal menuju kebahagiaan.

Jika kita sudah menemukan siapa diri kita, evaluasilah pengalaman kita selama ini apapun itu, yang saya haqqul yakin bahwa muara itu terletak pada sebuah kata tegak, Allah. Baik dari problem sengsaranya kita dalam cinta, gelisahnya kita akan asesoris dunia, hingga perkara ambisi menang kalah dalam kuasa.

Rasa cemas itu terjadi karena kita sudah jauh dari Allah. Kita biarkan Allah hanya berada pada singgasana, dan kita sendiri di dunia dengan sombongnya merasa sanggup berjalan sendirian.
Tanpa kita sadari. Kita pun sudah menduakan Dia Yang Maha Esa. Dualisme tauhid kita terbentur pada pengakuan disatu sisi kita mengakui Allah yang Maha kita cintai, tapi disisi lain kita lebih ingin mendahulukan apa keinginan kita, apa kata pacar, apa kata nafsu, apa kata amarah kita, apa kata ego kita, dan segala rasa individualitas angkuh yang bersamayam dalam diri kita.

Ingat, mata batin tidak bisa dibohongi, ikhwah. Karena kita telah diberi fitrah suci dari lahir oleh Allah untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Semakin kita menjauh dari Allah semakin mengeraslah qolbu kita. Semakin kita mendahulukan nafsu, yakinlah hanya kesengsaraan yang kita dapat di dunia fana ini. Karena Allah sudah mengingatkan kita,

“Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berdzikir kepada Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (Az-Zumar: 22)

Syekh Ibnu Qayyim Al Jauzi pernah berkata bahwa tidaklah Allah memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya qalbu dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Qalbu yang paling jauh dari Allah adalah qalbu yang keras, dan jika qalbu sudah keras mata pun terasa gersang. Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan. Bahkan dalam Tazkiyatun Nufus-nya, beliau berujar bahwa dosa adalah canru, semakin kita sering berbuat dosa, semakin ketagihanlah kita untuk bermaksiat kepada Allah. Sebuah rumus sederhana, bukan? Namun ketika ketaatan kepada Allah menjadi kebiasaan dalam hidup kita sehari-hari, maka ketenangan batin dan mansinya iman akan menjadi kawan sejati kita sehari-hari. Percayalah, dan itu butuh kejelian kita, selamat berjuang para pencari kebahagiaan yang sejati.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Al Hadiid(57) ayat.20)

Tentang Aku

Foto saya
Seorang pemuda gemar menulis, membaca, dan diksusi berbagai tema: Psikologi, Konseling, Islam, Tauhid, Kajian Tokoh, Ghazwul Fikri, Filsafat, Heurmenetika, Feminisme, dan Sastra. Kadang-kadang suka juga menonton, travel, dan have fun

Arsip Tulisan

Menu Tulisan

Komentar Singkat

Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all