Oleh, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Konselor Muslim
Nasib Shelly Silvia Bintang kini berbalik 180 derajat. Dua minggu lalu, harapannya masuk Fakultas Kedokteran tipis karena masalah dana. Kini harapannya itu muncul kembali setelah ia membuka ketidakberpihakan dunia pendidikan kita terhadap siswa tidak mampu di tanah air.
Ya kata-kata di atas di tulis oleh Jawapos setelah Shelly Silvia Bintang, bintang siswa terbaik dari Bali, mendapat angin segar. Shelly yang sebelumnya berharap nasib mengantarkannya ke Fakultas Kedokteran Prodi Pendidikan Dokter menghadapi dilema. Shelly merasa asanya putus setelah kendala dana hanya mampu mengantarkannya merajut cita pada jurusan Kesehatan Masyarakat. Beruntunglah Shelly termasuk dari lusinan siswa dengan nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi se-jagad Nusantara.
Ekses daripada hal tersebut, gadis berkacamata ini mendapat kesempatan tatap muka bersama presiden SBY. Momen ini dimanfaatkan Shelly untuk curhat atas kegalauan hatinya meratapi kenyataan bahwa cita tidak sesuai perkiraan. SBY yang mendengar keluh kesah Shelly kemudian berjanji memberi jaminan bahwa Selly akan dapat memasuki Fakultas Kedokteran di Universitas Udayana, Bali seperti yang diinginkannya. Ini belum dihitung uang akomodasi dan jajan selama Shelly berubah status saat kelak menjadi mahasiswi di kota wisata tersebut.
Shelly tentu tidak sendiri bertemu SBY sebagai siswa berprestasi. Wildan Rabbani, pelajar SMAN 1 Gresik mendapatkan hasil UN yang luar biasa. Semua nilai mata pelajarannya tergolong spektakuler. Nilai terendahnya adalah 9,00 untuk bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa Inggris (9,20). Ia mampu menggilas fisika (9,75). Melumat kimia (9,75). Merajai biologi (9,50) dan puncak selebrasinya mentok pada angka 10,00 untuk pelajaran matematika.
Menurut keluarga, selama tiga tahun belajar di SMAN 1 Gresik, Wildan selalu mendapat beasiswa. Sekolahnya pun gratis. “Sekarang dia tinggal menunggu penerimaan dari Fakultas Kedokteran UI.” Lanjutnya.
Jika Wildan mendapatkan nilai 10, Shelly Silvia Bintang tampil dengan nilai yang juga mengesankan. Catatan nilai itu dimulai dari Bahasa Indonesia dengan kumulasi 9.60. Bahasa Inggris 9.80. Matematika 9.50. Fisika 9.75 Kimia 9.75. Dan terakhir adalah Biologi dengan nilai 9.50. Total Shelly mendapatkan nilai 57.90.
Mengetahui tampilan nilai dari anak bangsa pada ambang batas kesempurnaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengundang mereka ke Istana. Selain mewawancarai mereka, Pak SBY turut memberikan hadiah komputer jinjing atau laptop bagi para pelajar sekolah menengah yang lulus ujian akhir nasional 2010 dengan nilai terbaik tingkat nasional.
Lulusan Terbaik harus ke Fakultas Kedokteran?
Tentu kita harus mengucapkan selamat kepada adik-adik kita yang mendapatkan perolehan nilai UN yang luar biasa. Prestasi mereka adalah satu benih bagi bangsa agar berkembang melalui pemupukan karakter yang kuat.
Namun decak kagum saya tidak berhenti disitu. Niat mereka berdua untuk melabuhkan diri di Fakultas Kedokteran rupanya seperti siswa terbaik kebanyakan. Saya menjadi berfikir nakal kenapa ya lulusan terbaik UN dari tahun ke tahun akan tergiring ke Fakultas Kedokteran?
Kita ketahui bersama, Fakultas Kedokteran dimanapun adalah sebuah fakultas favorit serta bergengsi. Selain fakultas termahal, bagi sebagian orang dipercaya memiliki masa depan menjanjikan. Walau ini belum final. Tapi opini publik berkembang ke arah sana.
Ini bisa dilihat pada banyak kasus, dimana para wali murid biasanya akan memasukkan anak mereka ke IPA saat jenjang SMA, semata-mata berharap dengan begitu sang anak bisa masuk Ke Fakultas Kedokteran di kemudian hari. Sayangnya, orangtua mengabaikan potensi murid. Selama saya menjadi konselor, tidak sedikit peserta didik dengan kemampuan MIPA (Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam) pas-pasan akhirnya mesti menelan pil pahit. Kompetensi mereka yang sebenarnya lebih tepat di IPS mesti dikubur dalam-dalam demi membahagiakan orang tua.
Imbasnya, sudah dapat ditebak. Mereka keteter saat mengikut pembelajaran. Nilai fisika mereka jeblok. Pada akhir pembagian rapot para wali murid disuguhkan catatan merah pada susunan angka pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Ironis memang.
Kalau sudah begitu masalahnya, lantas kita sah-sah saja berpikir ekstrem: Dokter macam apa yang akan dilahirkan produk peserta didik yang memang bukan on-nya di kajian eksakta? Penulis bukan sedang bicara sarkastik, tapi kita harus sejenak merenungi hadis familiar nabi.
“Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).
Problemnya kemudian, banyak masyarakat tergiring mendefinisikan Fakultas Kedokteran sebagai fakultas yang paling dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dengan menjadi dokter, setiap insan memiliki peluang lebih lebar memberikan sumbangsih lebih besar kepada insan lainnya dibanding profesi lainnya. Tidak salah memang, niat menjadi dokter itu sangatlah mulia. Seperti sekelompok dokter muslim yang berlabuh di MER-C. Mereka dikenal sangat gigih dalam membantu para saudara semuslim di wilayah konflik.
Namun persoalannya benarkah Fakultas Kedokteran akan lebih banyak bermanfaat bagi banyak orang? Tunggu dulu. Kita perlu diskusi. Kalau perlu panjang. Bukankah hadis yang berbunyi “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” bermakna netral? Bukankah hadis terebut tidak spesifik menyebut profesi “dokter”. Sekali lagi penulis bukan bermaksud memojokkan kawan-kawan seprofesi dokter. Akan tetapi banyak fenomena keliru berkembang di kalangan umat dalam memaknai profesi dokter.
Kejadian ini penulis alami betul. Bukan satu-dua siswa yang masuk ke kedokteran atas alasan jaminan masa depan seperti penulis singgung di awal tadi. Oleh karenanya, tinjauan ulang ini bisa menjadi perlu dilakukan mengingat obat dan ongkos berobat yang mahal, dan pemandangan emperan masyarakat miskin yang tergeletak di ruang luar Rumah Sakit. Belum lagi fenomena kongkalikong bidang medis yang kini tengah menguasai global.
Lulusan Terbaik dan Tantangan Umat
Saat penulis mengikuti bedah buku Api Sejarah II, karangan Pak Mansyur Suryanegara di Islamic Book Fair beberapa bulan silam. Penulis dibuat kaget oleh ucapan DR. Adian Husaini, bahwa kedepan orang tua yang memiliki anak-anak pintar jangan melulu mengarahkan labuhannya ke bidang kedokteran. Tapi arahkan ke sejarah!
Penulis menimbang-nimbang statement “unik” itu. Saat dirasa cukup waktu, rupanya ucapan beliau memiliki efek logis. Mengingat minimnya para pakar sejarah. Kita banyak memiliki doktor bidang MIPA, Sosial, dan Teknologi, tapi umat ini rasanya belum lagi melihat Doktor bidang Sejarah. Bahkan dalam kesempatan itu DR. Adian bertanya kepada peserta, “Adakah Doktor Sejarah Islam keluaran Timur Tengah?”
Semua peserta seminar menggeleng.
Ucapan Doktor bidang Peradaban Islam dari ISTAC Malaysia itu senada dengan uraian Tiar Anwar Bahtiar. Calon doktor sejarah dari UI ini, seperti dikutip ArRahmah.com, mengatakan bahwa umat yang unggul adalah umat yang mengerti spirit sejarah para pendahulunya. Oleh karena itu sejarah adalah satu pilar penting dalam membangun suatu peradaban. Sebab selain akan melahirkan spirit untuk terus berkembang, pengetahuan sejarah akan menjaga generasi yang akan datang dari penyakit disorientasi dan inferiorisme, sehingga tetap bisa eksis dalam segala zaman tanpa harus menanggalkan identitas dan keyakinannya.
Tiar Anwar melanjutkan bahwa sikap abai umat Islam ini telah terbukti dengan banyaknya buku-buku sejarah yang beredar di pasaran tentang Indonesia yang justru ditulis oleh sarjana-sarjana Belanda yang notabene pernah menjajah bangsa Indonesia. Penulisan sejarah semacam ini tentu sangat rawan distorsi dimana secara empiris-historis, umat Islam selalu dianggap sebagai pihak yang menjadi penghalang berbagai kepentingan kolonial Belanda.
Akhirnya jika kita mau melihat buku-buku sejarah Indonesia, seolah-olah Indonesia itu adalah Hindu dan bukan Islam.
Penulis menilai kondisi ini amat berbahaya. Karena kejadian itu masih berlangsung hingga detik ini. Di tengah maraknya rekayasa Sejarah dari buku-buku pelajaran kita, kita justru malas belajar Sejarah apalagi untuk mengkritisi kepada hal-hal kecil namun vital. Contohnya kenapa Hari Kebangkitan Nasional jatuh pada hari lahir Boedi Oetomo (BO)? Padahal sejarahnya BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2). BO pun bersifat kesukuan yang sempit, karena terbatas hanya Jawa-Madura. BO pun berbahasa Belanda, ini dapat dilihat dari anggaran dasar BO yang ditulis dalam bahasa Belanda. Dan BO baru lahir pada 20 Mei 1908.
Kenapa kemudian sejarah kita juga tidak merujuk pendirian Syarikat Islam (SI) sebagai Hari Kebangkitan Nasional. SI pun bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia. Ada Sangaji dari Ambon. Ada Agus Salin dari ranah Minang, dan Adapula Cokroaminoto dari Jawa. Berbeda dengan BO yang berbahasa Belanda, SI memakai bahasa Indonesia, anggaran dasarnya pun ditulis dalam bahasa Indonesia.
Sikap SI dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan lebih riil dari BO. Boedi Oetomo sendiri tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri tahun 1935. Untuk perjuangan Islam? apalagi. Syarikat Islam membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya, dan lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905, dengan nama awal Syarikat Dagang Islam.
Pentingnya sejarah juga dapat dilihat dalam mengkritisi lahirnya Hari Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan. Padahal banyak tokoh-tokoh perempuan yang sudah bergerak lebih riil dari RA Kartini. Sebutkah nama Rohana Kudus. Jika Kartiini hanya mampu menulis surat-suratnya, Rohana Kudus bergerak lebih maju dengan mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.
Rohana Kudus pun menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
Belum usai dari itu, Rohana Kudus pun menerbitkan surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Bahkan menurut catatan sejarah, Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan. Itu tentu jauh jika dicompare dengan rekam jejak Kartini dalam memajukan perempuan.
Tiar Anwar Bahtiar yang juga peneliti INSISTS, berusaha menelisik lebih jauh untuk mempertanyakan alasan dibalik penokohan yang kuat pada Ki Hajar Dewantoro yang dijadikan ikon pendidikan dalam sejarah anak-anak didik kita. Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan i ng ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia? “Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya. Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya.
Ekses dari hal tersebut, kita menjadi umat muslim yang mengalami amnesia sejarah. Orang yang mengalami amnesia sejarah akan terputus dari akar historisnya. Saat kultur peradaban muslim kita tercerabut, tidak mustahil kita berubah bentuk menjadi manusia pilihan-pilihan dunia yang disibukkan dengan problem sesaat.
Oleh karenanya, sejarah adalah bagian tersendiri yang justru dapat menjadi ladang dalam memenuhi hadis nabi tadi. Tidak kemudian kita hanya terjebak pada bidang kedokteran semata atau ilmu-ilmu eksak lainnya. Inilah salah satu tantangan umat kedepan. Kita mesti sadari banyak penggarapan ilmu-ilmu Agama khususnya Sejarah Islam yang sedang menanti untuk diisi lulusan terbaik bangsa. Percayalah tidak ada ilmu yang sia-sia, apalagi demi menyadarkan umat sekaligus membangun agama kita. So, masihkah kita berfikir Fakultas Kedokteran adalah segalanya?
Nasib Shelly Silvia Bintang kini berbalik 180 derajat. Dua minggu lalu, harapannya masuk Fakultas Kedokteran tipis karena masalah dana. Kini harapannya itu muncul kembali setelah ia membuka ketidakberpihakan dunia pendidikan kita terhadap siswa tidak mampu di tanah air.
Ya kata-kata di atas di tulis oleh Jawapos setelah Shelly Silvia Bintang, bintang siswa terbaik dari Bali, mendapat angin segar. Shelly yang sebelumnya berharap nasib mengantarkannya ke Fakultas Kedokteran Prodi Pendidikan Dokter menghadapi dilema. Shelly merasa asanya putus setelah kendala dana hanya mampu mengantarkannya merajut cita pada jurusan Kesehatan Masyarakat. Beruntunglah Shelly termasuk dari lusinan siswa dengan nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi se-jagad Nusantara.
Ekses daripada hal tersebut, gadis berkacamata ini mendapat kesempatan tatap muka bersama presiden SBY. Momen ini dimanfaatkan Shelly untuk curhat atas kegalauan hatinya meratapi kenyataan bahwa cita tidak sesuai perkiraan. SBY yang mendengar keluh kesah Shelly kemudian berjanji memberi jaminan bahwa Selly akan dapat memasuki Fakultas Kedokteran di Universitas Udayana, Bali seperti yang diinginkannya. Ini belum dihitung uang akomodasi dan jajan selama Shelly berubah status saat kelak menjadi mahasiswi di kota wisata tersebut.
Shelly tentu tidak sendiri bertemu SBY sebagai siswa berprestasi. Wildan Rabbani, pelajar SMAN 1 Gresik mendapatkan hasil UN yang luar biasa. Semua nilai mata pelajarannya tergolong spektakuler. Nilai terendahnya adalah 9,00 untuk bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa Inggris (9,20). Ia mampu menggilas fisika (9,75). Melumat kimia (9,75). Merajai biologi (9,50) dan puncak selebrasinya mentok pada angka 10,00 untuk pelajaran matematika.
Menurut keluarga, selama tiga tahun belajar di SMAN 1 Gresik, Wildan selalu mendapat beasiswa. Sekolahnya pun gratis. “Sekarang dia tinggal menunggu penerimaan dari Fakultas Kedokteran UI.” Lanjutnya.
Jika Wildan mendapatkan nilai 10, Shelly Silvia Bintang tampil dengan nilai yang juga mengesankan. Catatan nilai itu dimulai dari Bahasa Indonesia dengan kumulasi 9.60. Bahasa Inggris 9.80. Matematika 9.50. Fisika 9.75 Kimia 9.75. Dan terakhir adalah Biologi dengan nilai 9.50. Total Shelly mendapatkan nilai 57.90.
Mengetahui tampilan nilai dari anak bangsa pada ambang batas kesempurnaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengundang mereka ke Istana. Selain mewawancarai mereka, Pak SBY turut memberikan hadiah komputer jinjing atau laptop bagi para pelajar sekolah menengah yang lulus ujian akhir nasional 2010 dengan nilai terbaik tingkat nasional.
Lulusan Terbaik harus ke Fakultas Kedokteran?
Tentu kita harus mengucapkan selamat kepada adik-adik kita yang mendapatkan perolehan nilai UN yang luar biasa. Prestasi mereka adalah satu benih bagi bangsa agar berkembang melalui pemupukan karakter yang kuat.
Namun decak kagum saya tidak berhenti disitu. Niat mereka berdua untuk melabuhkan diri di Fakultas Kedokteran rupanya seperti siswa terbaik kebanyakan. Saya menjadi berfikir nakal kenapa ya lulusan terbaik UN dari tahun ke tahun akan tergiring ke Fakultas Kedokteran?
Kita ketahui bersama, Fakultas Kedokteran dimanapun adalah sebuah fakultas favorit serta bergengsi. Selain fakultas termahal, bagi sebagian orang dipercaya memiliki masa depan menjanjikan. Walau ini belum final. Tapi opini publik berkembang ke arah sana.
Ini bisa dilihat pada banyak kasus, dimana para wali murid biasanya akan memasukkan anak mereka ke IPA saat jenjang SMA, semata-mata berharap dengan begitu sang anak bisa masuk Ke Fakultas Kedokteran di kemudian hari. Sayangnya, orangtua mengabaikan potensi murid. Selama saya menjadi konselor, tidak sedikit peserta didik dengan kemampuan MIPA (Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam) pas-pasan akhirnya mesti menelan pil pahit. Kompetensi mereka yang sebenarnya lebih tepat di IPS mesti dikubur dalam-dalam demi membahagiakan orang tua.
Imbasnya, sudah dapat ditebak. Mereka keteter saat mengikut pembelajaran. Nilai fisika mereka jeblok. Pada akhir pembagian rapot para wali murid disuguhkan catatan merah pada susunan angka pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Ironis memang.
Kalau sudah begitu masalahnya, lantas kita sah-sah saja berpikir ekstrem: Dokter macam apa yang akan dilahirkan produk peserta didik yang memang bukan on-nya di kajian eksakta? Penulis bukan sedang bicara sarkastik, tapi kita harus sejenak merenungi hadis familiar nabi.
“Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).
Problemnya kemudian, banyak masyarakat tergiring mendefinisikan Fakultas Kedokteran sebagai fakultas yang paling dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dengan menjadi dokter, setiap insan memiliki peluang lebih lebar memberikan sumbangsih lebih besar kepada insan lainnya dibanding profesi lainnya. Tidak salah memang, niat menjadi dokter itu sangatlah mulia. Seperti sekelompok dokter muslim yang berlabuh di MER-C. Mereka dikenal sangat gigih dalam membantu para saudara semuslim di wilayah konflik.
Namun persoalannya benarkah Fakultas Kedokteran akan lebih banyak bermanfaat bagi banyak orang? Tunggu dulu. Kita perlu diskusi. Kalau perlu panjang. Bukankah hadis yang berbunyi “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” bermakna netral? Bukankah hadis terebut tidak spesifik menyebut profesi “dokter”. Sekali lagi penulis bukan bermaksud memojokkan kawan-kawan seprofesi dokter. Akan tetapi banyak fenomena keliru berkembang di kalangan umat dalam memaknai profesi dokter.
Kejadian ini penulis alami betul. Bukan satu-dua siswa yang masuk ke kedokteran atas alasan jaminan masa depan seperti penulis singgung di awal tadi. Oleh karenanya, tinjauan ulang ini bisa menjadi perlu dilakukan mengingat obat dan ongkos berobat yang mahal, dan pemandangan emperan masyarakat miskin yang tergeletak di ruang luar Rumah Sakit. Belum lagi fenomena kongkalikong bidang medis yang kini tengah menguasai global.
Lulusan Terbaik dan Tantangan Umat
Saat penulis mengikuti bedah buku Api Sejarah II, karangan Pak Mansyur Suryanegara di Islamic Book Fair beberapa bulan silam. Penulis dibuat kaget oleh ucapan DR. Adian Husaini, bahwa kedepan orang tua yang memiliki anak-anak pintar jangan melulu mengarahkan labuhannya ke bidang kedokteran. Tapi arahkan ke sejarah!
Penulis menimbang-nimbang statement “unik” itu. Saat dirasa cukup waktu, rupanya ucapan beliau memiliki efek logis. Mengingat minimnya para pakar sejarah. Kita banyak memiliki doktor bidang MIPA, Sosial, dan Teknologi, tapi umat ini rasanya belum lagi melihat Doktor bidang Sejarah. Bahkan dalam kesempatan itu DR. Adian bertanya kepada peserta, “Adakah Doktor Sejarah Islam keluaran Timur Tengah?”
Semua peserta seminar menggeleng.
Ucapan Doktor bidang Peradaban Islam dari ISTAC Malaysia itu senada dengan uraian Tiar Anwar Bahtiar. Calon doktor sejarah dari UI ini, seperti dikutip ArRahmah.com, mengatakan bahwa umat yang unggul adalah umat yang mengerti spirit sejarah para pendahulunya. Oleh karena itu sejarah adalah satu pilar penting dalam membangun suatu peradaban. Sebab selain akan melahirkan spirit untuk terus berkembang, pengetahuan sejarah akan menjaga generasi yang akan datang dari penyakit disorientasi dan inferiorisme, sehingga tetap bisa eksis dalam segala zaman tanpa harus menanggalkan identitas dan keyakinannya.
Tiar Anwar melanjutkan bahwa sikap abai umat Islam ini telah terbukti dengan banyaknya buku-buku sejarah yang beredar di pasaran tentang Indonesia yang justru ditulis oleh sarjana-sarjana Belanda yang notabene pernah menjajah bangsa Indonesia. Penulisan sejarah semacam ini tentu sangat rawan distorsi dimana secara empiris-historis, umat Islam selalu dianggap sebagai pihak yang menjadi penghalang berbagai kepentingan kolonial Belanda.
Akhirnya jika kita mau melihat buku-buku sejarah Indonesia, seolah-olah Indonesia itu adalah Hindu dan bukan Islam.
Penulis menilai kondisi ini amat berbahaya. Karena kejadian itu masih berlangsung hingga detik ini. Di tengah maraknya rekayasa Sejarah dari buku-buku pelajaran kita, kita justru malas belajar Sejarah apalagi untuk mengkritisi kepada hal-hal kecil namun vital. Contohnya kenapa Hari Kebangkitan Nasional jatuh pada hari lahir Boedi Oetomo (BO)? Padahal sejarahnya BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2). BO pun bersifat kesukuan yang sempit, karena terbatas hanya Jawa-Madura. BO pun berbahasa Belanda, ini dapat dilihat dari anggaran dasar BO yang ditulis dalam bahasa Belanda. Dan BO baru lahir pada 20 Mei 1908.
Kenapa kemudian sejarah kita juga tidak merujuk pendirian Syarikat Islam (SI) sebagai Hari Kebangkitan Nasional. SI pun bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia. Ada Sangaji dari Ambon. Ada Agus Salin dari ranah Minang, dan Adapula Cokroaminoto dari Jawa. Berbeda dengan BO yang berbahasa Belanda, SI memakai bahasa Indonesia, anggaran dasarnya pun ditulis dalam bahasa Indonesia.
Sikap SI dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan lebih riil dari BO. Boedi Oetomo sendiri tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri tahun 1935. Untuk perjuangan Islam? apalagi. Syarikat Islam membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya, dan lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905, dengan nama awal Syarikat Dagang Islam.
Pentingnya sejarah juga dapat dilihat dalam mengkritisi lahirnya Hari Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan. Padahal banyak tokoh-tokoh perempuan yang sudah bergerak lebih riil dari RA Kartini. Sebutkah nama Rohana Kudus. Jika Kartiini hanya mampu menulis surat-suratnya, Rohana Kudus bergerak lebih maju dengan mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.
Rohana Kudus pun menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
Belum usai dari itu, Rohana Kudus pun menerbitkan surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Bahkan menurut catatan sejarah, Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan. Itu tentu jauh jika dicompare dengan rekam jejak Kartini dalam memajukan perempuan.
Tiar Anwar Bahtiar yang juga peneliti INSISTS, berusaha menelisik lebih jauh untuk mempertanyakan alasan dibalik penokohan yang kuat pada Ki Hajar Dewantoro yang dijadikan ikon pendidikan dalam sejarah anak-anak didik kita. Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan i ng ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia? “Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya. Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya.
Ekses dari hal tersebut, kita menjadi umat muslim yang mengalami amnesia sejarah. Orang yang mengalami amnesia sejarah akan terputus dari akar historisnya. Saat kultur peradaban muslim kita tercerabut, tidak mustahil kita berubah bentuk menjadi manusia pilihan-pilihan dunia yang disibukkan dengan problem sesaat.
Oleh karenanya, sejarah adalah bagian tersendiri yang justru dapat menjadi ladang dalam memenuhi hadis nabi tadi. Tidak kemudian kita hanya terjebak pada bidang kedokteran semata atau ilmu-ilmu eksak lainnya. Inilah salah satu tantangan umat kedepan. Kita mesti sadari banyak penggarapan ilmu-ilmu Agama khususnya Sejarah Islam yang sedang menanti untuk diisi lulusan terbaik bangsa. Percayalah tidak ada ilmu yang sia-sia, apalagi demi menyadarkan umat sekaligus membangun agama kita. So, masihkah kita berfikir Fakultas Kedokteran adalah segalanya?
0 komentar:
Posting Komentar