20080111

INSES: SEBUAH DISTORSI CINTA

Oleh: Pizaro

Mahasiswa BPI UIN Jakarta dan Peminat Kajian Psikologi


Dalam sebuah surat kepada Fliess, Freud melaporkan bahwa kecemasan itu bukanlah berkorelasi dengan mental, tapi sebuah konsekuensi fisik dari kekerasan seksual. Pada tahun 1896, Freud memperesentasikan penemuan-penemuannya ini kepada para praktisi medis yang kemudian diberi judul etiologi histeria. Dalam paper itu, Freud melaporkan bahwa ia mengidentifikasi rangsangan spesifik pada kegenitalan akibat dari kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak sebagai trauma yang dibawa ke dalam histeria. Freud juga meneliti 18 kasus histeria, yang dalam kesimpulannya itu, kesemuanya akibat kekerasan seksual. Dalam tulisan lainnya kepada Fliess di tahun 1897, Freud berargumen bahwa ayah sebagai pelaku tindak kekerasan seksual ternyata juga melakukan tindak penganiayaan setelah aktivitas tabu itu kepada para korban. Tentu saja, penemuan ini telah menggelisahkan Freud.[1]

Catatan-catatan parsial dipandang sebelah mata oleh Osborn yang menyatakan bahwa inses tidak bisa dilihat dalam satu perspektif saja, setidaknya kita harus melibatkan berbagai elemen yang memungkinkan terlanggarnya tabu inses. Dalam kaitan ini ia mengemukakan berbagai risiko.

Faktor-faktor Sosiolingkungan meliputi:

1. Penerimaan atas supremasi pria.

2. Kekuasaan yang tidak seimbang.

3. Kepatuhan terhadap gaya.

4. Daya tarik pada objek seksual (pada anak-anak).

5. Perbedaan dalam hubungan denagn anak-anaik.

6. Keluarga yang memberikan toleransi kepada inses (permisif).

7. Isolasi sosial.

8. Tekanan hidup yang kuat.

Faktor-faktor yang bersumber dari keluarga meliputi:

1. Atura-aturan tradisional dalam hubungan pria dan wanita.

2. Kualitas perasaan pada hubungan antara orang tua dan ayahnya (kakek).

3. Insiden-isiden kekerasan ketika kecil yang membekas dalam kehidupan orang tua.

Faktor-faktor dalam sistem keluarga meliputi:

1. Cara-cara kekerasan dalam kehidupan keluarga.

2. Struktur keluarga.

3. Komunikasi dalam keluarga.

Faktor-faktor kejadian yang mempercepat meliputi:

1. Alkoholisme.

2. Terbukanya kesempatan.

3. Stres yang akut.

Faktor-faktor tambahan yang beresiko meliputi:

1. Kehadiran ayah tiri atau kekasih sang ibu.

2. Ketiadaan hubungan seksual anatara orang tua dalam waktu lama.

3. Peran yang terbalik antara anak perempuan dan ibunya. Di mana anak justru menggantikan peran ibu dalam keluarga.

4. Ayah yang pemabuk.

5. Ibu yang pasif atau telah meninggal.[2]

Kempe (1980) menemukan bahwa para ayah yang melakukan inses melibatkan putri mereka, cenderung menjadi pribadi introvert dalam kehidupan sosial. Catatan menarik dikemukakan bahwa seorang anak yang menjadi korban inses, ketika dia menjadi ayah mempunyai kemungkinan untuk menuntaskan “dendam” dengan anaknya lagi.[3] Goode sepakat bahwa seorang anak yang inses memang menimbulkan masalah tertentu dalam kehidupan sosial, karena statusnya yang membingungkan. Di satu sisi dia menjadi ibu, namun di sisi lain ia tetap seorang anak. Lantas bagaimana status anak mereka? Karena kakek si anak juga menjadi ayahnya. Jika dikatakan pernikahan adalah solusi, Goode justru sebaliknya, kenyataanya pernikahan tidak akan memecahkan masalah, namun hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk.[4]

O’Brien (1983) seperti disarikan Levine dan Salle menyatakan jika penggunaan anak-anak dalam rangsangan seksual, apakah melalui pornografi, kekerasan, atau inses mengakibatkan ego anak berada dalam tujuh hal penting.

1. Psikologis, pengenalan aktivitas seksual yang cepat akan memotong perkembangan masa kanak-kanak yang seharusnya. Anak-anak tidak mempunyai perasaan emosional yang tegar dalam mengasosiasikan seks.

2. Harga diri yang rendah, kekerasan seksual akan membuat anak menarik diri dari teman-temannya karena aib.

3. Eksploitasi, anak-anak akan menjadi ladang pemuas kebutuhan oleh orang dewasa.

4. Menjadi mudah terancam, karena anak-anak mengandalkan orang-orang dewasa, maka anak-anak mudah terancam. Penggunaan anak secara seksual menciptakan tekanan yang lebih dan kecemasan. Karenanya anak mulai mengintepretasikan ketergantungan sebagai suatu hal yang membahayakan.

5. Pandangan tentang seksualitas terdistorsi, meskipun beberapa anak tidak menyadari aib ini sampai usia dewasa. Kekerasan seksual akan menimbulkan cara pandang anak yang negatif dalam hubungan seksual.

6. Privasi anak, jika polisi atau praktisi anak tidak melakukan perlindungan, anak-anak korban inses sangat rentan untuk diekspos dalam majalah atau film porno.

7. Distorsi perkembangan moral, perkembangan moral tentang betul dan salah berkembang pada waktu anak menjadi korban kekerasan seksual. Banyak kasus inses yang terjadi dalam keluarga yang saleh, disiplin, teguh menciptakan nuansa munafik dan bingung pada diri korban tentang aturan moral yang sebenarnya.[5]

Lagi-lagi Freud mengaitkan isi psikopatologinya setidaknya dalam noda-noda agama. Pada zaman primitif, ternyata aturan-aturan totem tentang tabu inses lebih radikal daripada yang sekarang mengemuka. Dengan mengambil berbagai rujukan kalangan antropolog seperti Frazer, didapat temuan bahwa larangan-larangan dalam pernikahan sesama suku, semata-mata dilakukan karena kengerian terhadap inses. Dengan sistem ini membuat seorang laki-laki mustahil melakukan hubungan seks dengan sesama perempuan dari kelompoknya atau sebaliknya.[6]

Di Melanesia, larangan-larangan yang bersifat ini ditujukan pada hubungan laki-laki dengan ibunya atau saudara perempuannya. Seperti di Pulau Leper, kepulauan New Henrides, seorang anak laki-laki meninggalkan rumah ibunya pada usia tertentu dan harus pindah ke rumah adat tempat ia sehari-hari tidur dan makan. Adat yang sama berlaku di Kaledonia Baru. Jika saudara laki-laki dan perempuan bertemu, si perempuan segera bersembunyi di semak-semak dan si laki-laki berjalan terus tanpa boleh menoleh.[7]

Freud berpendapat apa yang terjadi pada zaman primitif itu tetap berlaku dalam rentang teori Seksualitas. Pada aturan larangan inses seorang menantu dan mertuanya, Freud menelisisk dalam hingga akhirnya menunjukkan sebuah skema bahwa pandangan menantu pada mertuanya mengingatkannya pada gambaran ibunya yang terus tersimpan dalam ketidaksadaran.

“Campuran perasaan lain dalam dirinya seperti lekas marah dan benci membuat kita mencurigai bahwa bagi menantu laki-laki, si ibu mertua sebenarnya mempresentasikan godaan inses, seperti banyak terjadi bahwa seorang laki-laki jatuh cinta pada terlebih dulu pda ibu mertuanya sebelum perasaan itu dialihkan pada anak perempuannya.”[8]

Skema Freud juga ditangkap kuat oleh Markale yang mengkaji beberapa klan dalam kaitan inses. Seperti dikutip Knapp, Markale menyajikan fakta bahwa tabu inses yang dilanggar di masyarakat Celtic, para raja, dan pahlawan-pahlawannya, mengasosiasikan diri mereka kepada para dewa, rasa berdosa, dan keyakinan kepada aturan moral yang kenyataannya tidak dapat ditegakkan oleh kepala suku seperti diri mereka. Sebagai contoh puisi-puisi epik di Celtic yang penuh dengan gairah inses, seperti Mordred tentang anak Raja Arthur yang melakukan inses dengan saudara perempuannya Morgan Le Fay. Cu Chulainn tentang anak suku Conchubar dan saudara perempuannya Dechtire. Cormac Conloinges tentang anak suku Conchubar dan Ibunya Ness.[9]

Kajian-kajian primitif ini adalah titik temu bahwa inses merupakan suatu infantilisme dan terkait kehidupan psikis neurosis. Arti family complex yang diungkapkan Freud pada fase phalik menjadi awal mula inses di mana kecendrungan percintaan sedarah terurai kepada kekecewaaan anak kepada orangtua. Ini setidaknya menunjukkan kepada kita keterikatan yang kuat pada masa kanak-kanak dalam inses yang sulit dilepaskan.

“Psikoanalisa telah mengajarkan kita bahwa pemilihan obyek seks pertama seorang anak laki-laki pada dasarnya bermotifkan hasrat inses dan bahwa ia diarahkan pada obyek-obyek terlarang, ibu dan saudara perempuannya. Psikoanalisa juga mengajarkan pada kita cara-cara yang dipakai individu yang beranjak dewasa untuk membebaskan dirinya dari ketertarikan inses. Akan tetapi, penderita neurosis biasanya menampakkan suatu bentuk infantilisme psikis, ia tidak bisa membebaskan dirinya dari kondisi psikoseksual anak-anak, atau ia malah kembali ke regresi. Jadi, fiksasi libido yang berbasis inses ini masih, atau kembali memainkan peran utama dalam kehidupan psikis tak sadarnya.”[10]



[1] Jan Osborn, “Incest”, dalam Dean M. Busby. ed., The Impact of Violence on The Family: Treatment Approaches for Therapists and Other Profesionals, (Massachusets: Allyn & Bacon, 1996), h. 80.

[2] Ibid., h. 82. Lustig mirip Osborn ketika menafsirkan faktor-faktor inses. Seperti dikutip Sadarjoen ia menyatakan bahwa terdapat lima kondisi ganguan keluarga yang juga memungkinkan terlanggarnya tabu inses, yaitu pertama, keadaan terjepit, di mana anak perempuan menjadi figur perempuan utama yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu. Kedua, kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak mamapu mengatasi dorongan seksualnya. Ketiga, ketidakmampuan ayah untuk mencapai pasangan seksual di luar rumah karena lebutuhan untuk mempertahankan facade kestabilan sifat patriachat-nya. Keempat, ketakutan akan perpecahan keluarga yang memungkinkan beberapa anggota keluarga untuk lebih memilih desintegrasi struktur daripada pecah sama sekali. Dan yang terakhir adalah sanksi yang terselubung terhadap ibu yang tidak berpartisipasi dalam tuntutan peranan seksual sebagai istri. Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, h. 74-75.

[3] Geraldine Leitl Ortton, Strategies for Counseling with Chidren and Their Parents, (California: ITP, 1997), h. 91.

[4] William J. Goode, The Family, (New Jersey: Prentice Hall, 1964), h. 24.

[5] Levine and Salle, Listen to Our Children, h. 282-2823.

[6] Freud banyak belajar dari berbagai buku yang menyajikan fakta kengerian inses. Selain karya-karya Frazer, Freud juga terbantu dengan temuan-temuan totem dan tabu inses pada buku The Melanesian karya R.H Codrington. Buku The Mystic Rose karya Crawly. Buku Secret of The Totem karya Andrew Lang. Buku The Origin of Civilization karya J. Lubbock. Buku Among the Zulus and Amatangos karya Leslie, dan masih banyak lagi.

[7] Sigmund Freud, Totem dan Tabu. h. 17. Substansi yang sama namun berbeda pelaku terjadi juga di Semenanjung Gazelle, New Britain, New Mecklenburg, kepulauan Fiji, suku Batak, suku Wakamba di Afrika Timur, kepulauan Bank, Vann Lava, kepulauan Solomon, dan suku Basoga di bagian hulu sungai Nil.

[8] Ibid., h. 27

[9] Bettina Liebowitz Knapp, Women, Myth, and The Feminine Principle, (New York: State University of New York Press, 1998), h. 195.

[10] Sigmund Freud, Totem dan Tabu, h. 29.

0 komentar:

Tentang Aku

Foto saya
Seorang pemuda gemar menulis, membaca, dan diksusi berbagai tema: Psikologi, Konseling, Islam, Tauhid, Kajian Tokoh, Ghazwul Fikri, Filsafat, Heurmenetika, Feminisme, dan Sastra. Kadang-kadang suka juga menonton, travel, dan have fun

Arsip Tulisan

Menu Tulisan

Komentar Singkat

Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all