Oleh: Pizaro (Mahasiswa UIN Jakarta)
“...Teori Neurosis sendiri merupakan psikoanalisis...” ucap Freud.[1] Ego yang muncul dalam kasus neurosis adalah ego yang tidak optimal, kurang terintegrasi, dan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi reality testing masih berjalan sekalipun tidak optimal sebagai rentetan dari koordinasi konflik-konflik berkepanjangan. Pribadi neurotik pun tidak terlalu sukses melangkah dalam kehidupan, karena hambatan-hambatan yang mengganggu aktivitas sosial.
Individu neurosis lebih senang menggunakan mekanisme pertahanan ego daripada coping efektif dalam upaya mereka untuk deal dengan eskalasi realitas. Mekanisme pertahanan ego yang umumnya dipakai adalah mekanisme immature atau tidak matang, sehingga tidak membantu menyelesaikan masalah yang asli.[2]
1. Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD)[3]
OCD sangat fenomenal dalam kajian neurosis, sekaligus penting. Laughlin (1967) seperti dikutip McNeil, menyatakan OCD menyumbang 12 % dalam gangguan neurosis. Selain itu OCD akan menjadi bentuk depresi atau komplikasi umum, meskipun risikonya adalah bunuh diri.[4]
Ada sebuah kasus yang ditangani Freud untuk menjadi penjelas dalam kasus OCD. Seorang gadis berusia 19 tahun, anak tunggal, memiliki kepandaian melebihi orangtuanya, sangat lincah, dan bersemangat tinggi.
“Pasien saya mengatakan bahwa motif tindakan pencegahnnya adalah menjauhkan segala kebisingan sejauh mungkin. Dia melakukan dua hal untuk mencapainya. Dia menghentikan detak jarum jam besar di kamarnya dan mengeluarkan semua jam kecil, termasuk arloji kecil di meja sebelah ranjangnya. Semua porselen dan pot bunga diletakkan di tengah meja kamar, agar ketika jatuh tidak mengganggunya ... Dia juga membiarkan pintu kamar tidur orangtuanya dan kamarnya terbuka.
Sang pasien secara bertahap memahami bahwa dia menyingkirakan semua jam dan arloji di kamarnya di waktu malam karena semua itu melambangkan alat kelamin perempuan. Ketakutan besarnya adalah detak jam yang mengganggu tidurnya. Detak jarum jam disamakan dengan denyutan klitoris selama rangsangan seksual. Ketakutan terhadap ereksi klitoris akan mendorongnya menyingkirkan semua gangguan, termasuk jam dan arloji di waktu malam. Pot dan vas bunga, seperti wadah lain, adalah lambang alat kelamin perempuan. Pencegahan agar pot dan vas bunga tidak terjatuh mempunyai makna sendiri. Selama masa pertunangan, banyak pasangan yang melakukan hubungan seksual padahal belum tentu masuk ke perkawinan. Sang pasien juga menghubungakan ritualnya dengan masalah ini.
Selimut mesti dikibas-kibaskan dahulu sebelum ditutupkan ke tubuhnya sehingga selimut menutupi sampai ujung-ujung tempat tidur. Setiap selimut berubah posisi, ia akan memeperbaiki lagi posisisnya ke tempat semula.”[5]
Wilhelm Reich pernah mengatakan bahwa karakter kompulsif ibarat mesin.[6] Namun hal yang membuat parah, karena gangguan itu tidak mempunyai satu bentuk saja tapi berekspansi kedalam bentuk-bentuk OCD yang ekstrim. Freud menekankan para terapis harus mengetahui makna dibalik setiap perbuatan OCD.
Setelah melakukan terapi didapat kesimpulan bahwa perempuan muda semasa kecil pernah terjatuh saat dia membawa sebuah wadah dari gelas atau porselin sehingga tangannya terluka dan mengeluarkan banyak darah. Hal ini berasosiasi pada pemahamannya tentang keperawanan. Dia menganggap bahwa bisa saja dirinya tidak mengeluarkan darah pada malam pertama perkawinan. Pencegahan vas agar tidak pecah berhubungan dengan penolakannnya terhadap masalah keperawanan dan pengeluaran darah sewaktu melakukan hubungan seksual pertama kali.
“Sampai akhirnya, pada suatu hari dia mendapatkan ide sentral atas ritualnya untuk mencegah bantal bersentuhan dengan dinding ranjang. Dia berkata bahwa bantal merupakan lambang perempuan dan dinding lambang laki-laki. Dengan upacara pemisahan itu, dia berharap memisahkan laki-laki dan perempuan, dalam hal ini memisahkan orangtuanya untuk mencegah hubungan seksual terjadi … Pintu kamar dan orangtuanya tidak ditutup, dia berdalih sedang ketakutan sehingga pintu-pintu antara kamarnya dengan orangtuanya tidak boleh ditutup rapat … Dengan cara ini dia bisa mendengar percakapan orangtuanya walaupun pernah menyebabkannya tidak bisa tidur selama berbulan-bulan.
Merasa kurang puas mengganggu kedua orangtuanya, beberapa kali dia bisa tidur di antara ibu dan ayahnya di tempat tidur mereka. Cara-cara terakhir ini benar-benar mencegah “bantal” dan “sandaran tempat tidur” untuk bersatu. Setelah dia bertambah besar dan tidak lagi nyaman tidur di kamar orangtuanya. Dia mulai sadar akan ketakutannya dan berusaha bertukar tempat dengan ibunya. Peristiwa inilah yang menjadi titik awal fantasi-fantasi yang berpengaruh pada ritualnya sebelum tidur.
Jadi, bila bantal melambangkan perempuan, maka selimut yang dikibaskan sampai seluruh sisa lipatan berada di bagian bawah kasur sehingga membentuk gundukkan juga mempunyai makna tertentu. Makna itu adalah perempuan hamil. Dia tidak menginginkan ibunya hamil lagi.[7]”
Dalam kasus ini, ritual atau kompulsi sebelum tidur mempunyai arti mendalam yang akan membantu konselor untuk menemukan tafsiran yang pas. Dan perlu dicatat bahwa individu OCD tidak hanya berkembang dalam satu fantasi saja, namun bermacam-macam fantasi. Sinyalemen Freud menyimpulkan bahwa fantasi ini semakin sulit diungkapkan jika terapis atau konselor tidak memiliki wawasan psikoanalisis yang baik dan jarang bergelut dengan pasien atau konseli.
Pada OCD, regresi libido ke tahap anal adalah faktor yang paling mencolok dan menentukan bentuk yang akan dipolih oleh gejala-gejalanya.[8] Lebih mendalam Freud samapai pada titik peenekanan pada tiga pokok kajian yang berada dibalik OCD dan neurosis pada umumnya, yaitu alam bawah sadar, kesadaran, dan ketidakperdulian. OCD terutama digerakkan oleh alam bawah sadar, namun Freud menegaskan bahwa faktor kesadaran tidak juga bisa disepelekan, karena bagaimanapun kesadaran yang menjadi empirisitas untuk mendefinisikan neurosis seperti OCD.[9]
OCD juga diakibatkan karena ketidakperdulian dan ketidaktahuan proses mental yang seharusnya diketahui. Kesimpulan ini mendekati doktrin Socratik yang menyatakan sifat buruk adalah akibat ketidakpedulian.[10] Kitapun teringat atas penyelidikan Freud terhadap psikopatologi dalam kehidupan sehari-hari yang diakibatkan seringnya kita mengabaikan hal-hal sepele seperti ingatan-ingatan,[11] yang akhirnya membuat individu pelupa akan mengingat kata-kata asing,[12] kesalahan dalam bicara,[13] kelupaan terhadap kesan dan niatan,[14] dan lain sebagainya.
Freud juga melihat gejala pengulangan seperti ini sebagai cara menangani sensasi atau emosi yang berat seperti kegelisahan dan perasaan bersalah.[15] Menurut Singh, perasaan bersalah merupakan sebuah konsep yang membentuk bagian dari sebuah matriks yang berkenaan dengan pembagian dan penyatuan moral, seperti “pelanggaran”, “kesalahan”, “tuduhan”, “malu”, “sedih karena dosa”, “penyesalan”, “pertobatan”, “permohonan maaf”, “hukuman”, “balas dendam”, “pengampunan”, “perbaikan”, dan “rekonsilisasi”.[16]
Dalam pengalamannya, sang gadis sempat memainkan bentuk mekanisme pertahanan diri berupa rasionalisasi, ketika ia berdalih sedang ketakutan untuk menguatkan alasan tidur bersama orangtuanya. Sayangnya itu berkembang dalam skema penguatan obsesif kompulsif.
Nevid dkk, menilai banyak individu OCD mengembangkan gangguan ini pada masa kanak-kanak yang juga mempunyai riwayat ganguan tic.[17] Eichstedt dan Arnold (2001) menilai para peneliti kemungkinan menduga adanya kaitan genetis antara gangguan tic dan OCD yang kemunculannya pada masa kanak-kanak.[18]
Dalam setiap permasalahan, manusia dapat menghayati itu menjadi sesuatu yang menjadi beban pikiran atau cenderung dienyahkan dalam aspek afektif kita. Begitu pula dengan individu OCD, ia bisa menjadi sangat tenang untuk menerima ujian ini lewat caranya mengeyahkan pikiran obsesif itu.
Freud seperti dikutip Elton B. McNeil melihat bahwa OCD memakai jenis pertahanan seperti isolasi, undoing, dan reaksi formasi.[19] Individu OCD mungkin terganggu, tapi dia tidak panik, karena mekanisme isolasi melindungi diri dari efek destruktif terhadap fisiknya.[20] Manifestasi insting mati bisa diimbangi jika individu OCD menerima perasaannya. lalu bersikap santai.
Ketika isolasi tidak efektif melawan kecemasan maka sebuah manuver baru hadir. Individu OCD mencoba untuk menghapus perasaan bersalah dan impuls-impus terlarang.[21] Mekanisme semacam ini dinamakan undoing. Terkadang memang kita tidak dapat meredam impuls seksual, namun diperlukan undoing yang setidaknya mengurangi perasaan bersalah. Contohnya jika individu OCD melaksanakan ritualnya dengan menyetrum tangannya, maka perasaan bersalah itu coba diredamnya dengan membenturkan tangannya ke tembok, semata-mata menghilangkan rasa “dosa”. Atau individu yang usai melakukan masturbasi akan mencuci tangan hingga 50 puluh kali, untuk menghilangkan rasa jijik pada tangannya.
Akhirnya reaksi formasi mengakhiri tingkatan prosesif dari mekanisme pertahanan ego. Individu OCD akan berpura-pura menyukai tindakannya yang monoton agar orang tidak salah paham atas tingkah anehnya. Ketika ia menusuk jempolnya ke ujung pensil, itu dianggapnya suatu kesengajaan agar pensil mudah dipakai.
Berbagai perkembangan menandai bentuk OCD dalam bentuk psikopatologi yang lainnya. Bosselman mengkategorikan alkoholisme sebagai bentuk neurosis kompulsif, di mana pecandu alkohol akan merasa puas bila kebutuhan dasarnya dipenuhi dengan meminum alkohol.[22] Menurut Rosenberg (1968) alkoholisme adalah bentuk pedisposisi dari fiksasi masa oral awal, ketika asupan insting ego yang tersendat meletup mejadi candu akan alkohol.[23]
Dalam OCD perasaan bersalah muncul sangat jelas dalam kesadaran, ia mendominasi gambaran klinis dan kehidupan. Namun dalam bentuk neurosis lain, OCD tetap sepenuhnya berada di bawah sadar. Akan tetapi, banyak juga penderita OCD tidak menyadari perasaan bersalah mereka, atau hanya merasakannya sebagai kekhawatiran yang menyiksa, sejenis kecemasan, ketika mereka dihalangi untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.[24]
Fobia juga menempati posisi penting dalam kasus neurosis, setidaknya ada perhatian khusus oleh Freud dalam tiap kasus. Freud menilai fobia masih memiliki kaitan dengan OCD, khususnya untuk agorafobia. Dalam kasus perempuan tadi misalnya, agorafobia direpresentasikan pada tindakan membiarkan pintu kamarnya dan ibunya tetap terbuka. Pendapat Freud patut disimak.
“Semua pasien obsesional menunjukkan pengulangan dan perilaku yang berirama. Sebagian besar perilaku mereka terlalu berlebihan. Pasien-pasien tersebut menderita agorafobia (topofobia atau takut terhadap lapangan terbuka) dan tidak lagi digolongkan sebagai neurosis obsesional, teapi dimasukkan golongan histeria dan kegelisahan. Mereka takut tempat tertutup. Ruang yang luas, tempat terbuka, dan jalan raya yang sangat panjang. Mereka merasa aman bila ditemani atau ada mobil lain di belakang mereka.”
Dalam dunia psikopatologi. fobia juga mengalami perkembangan bentuk yang berbeda-beda di tiap individu, sekalipun setiap individu memiliki persamaan-persamaan di antara inividu lainnya dalam menerjemahkan kecemasan.
“Berdasarkan persamaan-persamaan itu, mereka juga membangun kondisi individual mereka sendiri atau sering disebut sebagai suasana hati yang terkadang sangat berbeda dengan kasus lain. Ada orang yang hanya takut berada pada jalan sempit, ada yang hanya takut di jalan yang luas, ada orang yang bisa berjalan tenang bila hanya ada beberapa orang di antara mereka, dan ada juga yang merasa aman dikelilingi orang banyak”
Menurut McNeil semua fobia adalah sebuah ekspresi dari kecemasan histeria. Fobia merefleksikan sebuah intensitas konflik antara impuls-impuls dasar dan mekanisme represif. Represi dijalankan semata-mata karena impuls tertahan menuju kesadaran.[25] Freud mengklasifikasiakan fobia kepada tiga kelompok, namun Freud tidak memberikan istilah selain agorafobia dan fobia histeria. Ia hanya memberikan sekedar contoh-contoh.[26]
Dalam perkembangnnya, sumbangan Profesor Freud terhadap psikopatologi diklasifikasikan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) melalui Diagnostic Statistic Manual IV (DSM IV) menjadi tiga bagian. Pertama, fobia spesifik. Kedua, fobia sosial. Ketiga, Agorafobia. Fobia spesifik adalah ketakutan yang persisten terhadap objek atau situasi spesifik, seperti ketakutan tehadap ketinggian (achorafobia) atau takut terhadap tempat tertutup (klaustrofobia). Reaksi fisiologis akan meninggi ketika terjadi fobia spesifik.[27]
Fobia sosial dapat terlihat pada situasi sosial seperti berkencan, makan di restoran, ataupun menonton sepakbola di stadion. Stein, Walker, dan Forde (1996) seperti dikutip Nevid dkk melakukan suatu survei acak terhadap 5000 penduduk Winnipeg, yang ditemukan satu di antara tiga orang mengalami kecemasan yang berlebihan ketika berbicara di depan umum, yang berpengaruh buruk cukup signifikan terhadap kehidupan mereka.[28]
Sama seperti Freud, agorafobia merupakan suatu sugestif untuk ketakutan pada tempat-tempat terbuka dan ramai. Mereka mengatur hidup sampai kepada hal detail untuk merencanakan kegiatan agar tidak terpaksa keluar rumah. Jika ingin memberi informasi kepada orang luar, biasanya individu agrofobia cukup mengirim SMS, e-mail, atau hubungan melalui telepon.
Perliaku orang yang takut menyeberang jalan atau bentuk agorafobia lainnya adalah suatu bentuk fiksasi.[29] Fobia seperti ini menggambarkan sikap anak kecil yang menganggap ini adalah bahaya, dan kecemasan itu akan hilang jika dituntun oleh seseorang untuk menyeberang jalan. Atau anak yang lebih suka berada di rumah dalam belaian sang ibu, ketimbang mereka keluar dan diejek teman-temannya. Karena itu, masa kecil anak-anak tidak terelakkan dalam keputusan kognitif orang dewasa untuk mengambil jalan “efektif”’ dari bentuk agorafobia.
Agorafobia cenderung terjadi pada masa dewasa dalam seksualitas Freud, sedangkan fobia spesifik terlihat sejak awal kanak-kanak,[30] hal Ini juga diperkuat oleh Nevid dkk.[31] Sumbangan lainnya adalah bahwa agorafobia lebih umum terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Terkadang disertai gangguan panik, bahkan tanpa riwayat gangguan panik, individu fobia akan mendapatkan sedikit simtom panik, seperti pusing yang menghalangi mereka untuk keluar.
Fobia masa kanak-kanak mempunyai pangkal neurosis, bahkan McNeil menamainya “neurosis of childhood”.[32] Fobia yang pertama kali dialaminya berkisar pada kegelapan dan kesendirian. Fobia terhadap kegelapan hampir dialami seumur hidup. Akan tetapi, Freud sulit mengidentifikasikan apakah ini berawal dari kecemasan realitas atau neurotik. Karena kita ketahui anak-anak mengembangkan takut akan kegelapan adalah wajar, layaknya anak-anak berkenalan dengan orang asing. [33]
Fobia histeria dapat dirunut kembali pada kecemasan anak-anak, di mana fobia merupakan kelanjutannya. Meskipun punya bentuk lain dan harus disebut dengan nama berbeda. Perbedaan ini tergantung kepada bentuk mekanisme yang dikembangkan.[34]
Koordinasi libido pada masa kanak-kanak berpotensi dalam kaitan fobia. Anak-anak yang mulai merasakan takut, akan mengharapkan kehadiran figur yang dia sayangi dan sudah dikenal yakni ibu. Kekecewaan dan kerinduan yang diubah menjadi rasa takut libidonya tidak tersalurkan,[35] dan tidak boleh ditangguhkan, akan diubah menjadi perasaan takut. Karenanya, kejadian seperti ini merupakan prototipe dari rasa takut masa kecil, dan bentuk rasa takut paling besar selama kelahiran adalah takut kehilangan ibu.[36]
Sumbangan McNeil terhadap fobia anak perlu diperhatikan dalam seksualitas Freud, karena kecemasan fobia yang bersumber pada masa kanak-kanak dapat terjadi dari beberapa sumber. Bisa jadi karena variasi-variasi yang menular pada anak, bisa jadi akibat trauma, atau bisa jadi karena konflik fisik internal yang tidak mengalami perubahan dalam masa kanak-kanak. Kemungkinan terakhirnya sangat berkaitan dengan perhatian kita selama ini bahwa reaksi kecemasan sering difokuskan kepada objek-objek khusus dalam dunia nyata.[37]
Sebagai contoh individu fobia dapat menjadi traumatis karena memiliki pengalaman menyakitkan akan ketinggian dan mempunyai ibu yang abnormal akan ketinggian dan reaksinya menular pada sang anak.
[1] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 428.
[2] Arif, Dinamika Kepribadian, h. 33.
[3] Freud mula-mula menyebut OCD dengan istilah neurosis obsesional yang mengacu pada OCD, namun lambat laun para pakar mengembangkannya menjadi OCD. Singkatan OCD sendiri pertama kali dipopulerkan oleh Rapoport, dalam sebuah buku berjudul The Boy Who Couldn’t Stop Washing yang juga menggambarkan kondisi seperti diulas Freud. Kalu Singh, Rasa Bersalah. Penerjemah Basuki Heri Winarno (Yogyakarta: Pohon Sukma, 2003), h. 77.
[4] Elton B. Mc Neil, Neuroses and Personality Disorders, (New Jersey: Prentice Hall. Inc, 1970), h. 36.
[5] Kasus-kasus neurosis obsesional dan kompulsif diposisikan Freud dalam bab tentang analisis dan gejala makna. Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 289-291.
[6] David Shapiro, Neurotic Styles, (New York: Basic Books, 1965), Sixth Printing, h. 23.
[7] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 293-294.
[8] Ibid., Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 388.
[9] Ibid., Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 305.
[10] Freud mengungkapkan ini dalam satu bab khusus tentang trauma ketidaksadaran. Ibid., Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 307.
[11] Freud, Psikopatologi dalam Kehidupan Sehari-hari, h. 67-86.
[12] Ibid., h. 17-32.
[13] Ibid., h. 87-142.
[14] Ibid., h. 165-210.
[15] Singh, Rasa Bersalah, h. 77.
[16] Ibid., h. 6.
[17] Menurut Chaplin, gangguan tic mengacu pada kekejangan otot yang tidak bisa dikontrol yang kadangkala disertai satu vokalisasi tau pembunyian. Lebih umum lagi, sebarang kebiasaan syaraf yang kompulsif. Chaplin, Kamus Psikologi, h. 510-511.
[18] Nevid dkk, Psikologi Abnormal 1, h. 173.
[19] Elton B. Mc Neil, Neuroses and Personality Disorders, h. 40.
[20] Ibid., h. 41.
[21] Ibid., h. 41.
[22] Beulah Chamberlain Bosselman M.D, Neurosis and Psychosis, (Illinois: Charles C. Thomas Publisher, 1950), h. 71. Sebelum itu, Ferenzci juga pernah mengaitkan alkohol dengan neurosis yang terurai pada tahun 1911. ibid., Neurosis and Psychosis, h. 75.
[23] Mc Neil, Neuroses and Personality Disorders, h. 36.
[24] Freud, Peradaban dan Kekecewaan, h. 136.
[25] Ibid., Neuroses and Personality Disorders, h. 19.
[26] Salah satu contoh adalah ketika Charles Darwin ketakutan pada ular yang mengarah padanya meskipun dia tahu ada piringan kaca yang melindunginya. Atau juga lelaki tinggi besar dan kuat takut menyebrang jalan atau taman dalam kota yang sangat dia kenal, atau ketika perempuan yang sangat sehat menjadi sangat ketakutan karena seekor kucing menyenggol pakainnya atau seekor tikus berkeliaran di ruangannya. Atau wanita yang takut pada tikus, padahal sang wanita senang dipanggil kekasihnya dengan nama tikus namun akan berteriak ketakutan begitu meliat kehadiran makhluk kecil yang cantik itu. Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 451-452. Freud mengupas fobia pada bab tentang ansietas dan kegelisahan.
[27] Nevid dkk, Psikologi Abnormal 1, h. 169
[28] Ibid., Psikologi Abnormal 1, h. 170.
[29] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 452
[30] Ibid., Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 452.
[31] Nevid dkk, Psikologi Abnormal 1, h. 171.
[32] McNeil, Neuroses and Personality Disorders, h. 22.
[33] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 462.
[34] Ibid., Pengantar Umum Psikoanalisis h. 464.
[35] Freud seperti dikutip Kenedy mengatakan bahwa frustasi juga penyebab munculnya serangan neurosis. Frustasi memiliki pengaruh patogenik karena ia “membendung” libido, sehingga meningkatkan ketegangan seksual. Subjek tetap bisa sehat, jika dia mengubah ketegangan ini menjadi energi aktif dan menemukan cara dalam memuaskan libidonya kembali, misalnya dengan menemukan pengganti atas objek cinta yang hilang. Yang lain seperti Alberich dalam Ring Cycle dari wagner, yang menolak cinta untuk bisa mencuri emas Rhinemaden, dia bisa menolak pemuasan libido, melakukan sublimasi atas libido yang terbendung dan mengalihkannya pada usaha-usaha untuk mencapai sejumlah tujuan yang bukan bersifat erotis dan bisa melepaskannya dari frustasi. Kennedy, Libido, h. 34
[36] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 461
[37] McNeil., Neuroses and Personality Disorders, h. 23.
[38] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 453-455.
0 komentar:
Posting Komentar