20100131

APAKAH ANDA MAU MENGORBANKAN MAKNA KEISLAMAN ANDA UNTUK MEMBAYAR SEBUAH KATA ILMIAH?: REFLEKSI DAN REEVALUASI ARTI KECERDASAN

Oleh, Pizaro, Konselor Muslim


Seorang Sarjana psikologi dari kampus Islam ternama di Jakarta yang kebetulan penulis mengenal karena ia adalah salah seorang mantan “qiyadah” penulis di sebuah Himpunan Kemahasiswaan Islam, menulis sebuah hal yang menarik dalam blognya. Ia dengan rasa yakin begitu terpesona dengan buku Tafsir Mimpi karangan Sigmund Freud (baca: Simon Froid). Ia sedemikian terkesima setelah mencocokan apa yang ditulis Freud dengan apa yang dialaminya. Freud seperti seorang nenek sihir yang berhasil membiusnya aga rmau ikut terbang di gagang sapu itu. Pemuja itu melihat Freud bak raja ilmu tanpa kemudian mencoba menelisik lebih mendalam, meneliti, melempar hipotesa tandingan untuk menjawab dengan apa Freud mengkonstruk tafsirnya tersebut. Sebab itu adalah sebuah standar kerangka ilmiah dari sebuah ilmu, terlebih teori itu sudah lapuk dimakan temuan yang berbeda. Belum lagi ditambah jika sedari dini cita-cita kita adalah menjadi seorang akademisi atau intelektual.

Kalau kita intens bekecimpung dalam studi sosial, kita akan segera disajikan bagaimana teori-teori dengan worldview Barat mengalami bantahan dengan sesama mereka sendiri. Psikoanalisa Freud misalnya, jangankan untuk dibantah Islam, dengan kawan satu kampung saja seperti Viktor Frankl yang besar di Wina, teori Freud sudah ditelanjangi. Ironisnya psikoanalisa Freud justru ditelanjangi di Kamp NAZI, saat Frankl tidak menemukan monopoli syahwat egoistis pada tahanan-tahanan di Auschwitz seperti yang dicetuskan Freud. Lalu, penulis jadi teringat apa kata Kuntowijoyo, “Semua teori sebenarnya salah, cuma belum diketemukan saja kesalahannya”

Namun herannya pengagum Freud itu sebenarnya sadar bahwa psikoanalisa banyak mengundang reaksi karena kelemahan penelitiannya. Kita ketahui bersama, bahwa beberapa ilmuwan muslim dan mahasiswa muslim menyangkal kebenaran teori Freud, tidak hanya untuk faktor pasikologi sainsnya tapi juga untuk faktor ideologis. Jika anda yang belum tahu Freud pernah menulis bahwa agama adalah sekumpulan ilusi yang sengaja diciptakan manusia untuk meredakan kecemasan. Artinya Allah dalam hal ini adalah hasil rekayasa imajinasi manusia semata. Non sense dengan wahyu.

Namun menariknya, pengagum itu lalu justru melempar kritikan kepada kaum muslim sendiri, khususnya para mahasiswa muslim yang tidak senang dengan teori Freud. Ia lantas mencuatkan rasa sentimen agar mereka-mereka yang mengkritik Freud berkaca atas apa yang sudah mereka lakukan dan alangkah baiknya jika kaum muslim melakukan penelitian yang setara dengan apa yang dirintis Freud jkia hendak menyangkal.

”Tidak adakah pendidikan agama Islam yang saya peroleh sejak kecil berperan dalam membentengi diri saya dari pengaruh yang datang kemudian? Tentu saja ada, dan kata Freud juga demikian. Tetapi itu berarti dalam diri saya terdapat dua pengaruh yang berlawanan. Di satu sisi, saya meyakini Islam yang mengajarkan manusia mempunyai fitrah berketuhanan, di sisi lain, saya juga banyak dirasuki ajaran Freud yang bercorak ateistis. Bagaimana mendamaikan dua pikiran yang bersitegang ini tanpa menjadikan jiwa saya terbelah?” Tulisnya.

Untuk beberapa hal penulis memiliki kesamaan bahwa tugas intelektual muslim belumlah usai dan di zaman ini kita ditantang untuk berbuat riil, memahami Islamic Worldview, mengkaji ilmu khas Islam, dan menerapkannya di lapangan demi kepentingan umat. Namun penulis kemudian berfikir jahil dan tergelitik. Lantas bagaimna posisi sang pengagum itu. Apa bedanya ia dengan orang yang dikritiknya? Sepertinya sama, malah lebih parah karena ia hanya berhenti pada fase menggagumi, memuja, taklid, dan sama sekali tidak melakukan apa-apa. Diam di tempat, seperti orang bingung. Lho katanya intelektual? Suka baca buku dan diskusi.

Kisah diatas hanyalah sebuah representasi dari contoh mental defeat, kekalahan mental, dan takluk sebelum perang dari sebagian umat muslim. Lebih parahnya mereka-mereka itu seperti tentara yang mengibarkan bendera putih bukan untuk menyerah tapi untuk gabung dengan musuh, celaka dua belas!
Sebagai produk mahasiswa yang besar dari kampus Islam yang terkontaminsi Worldview Barat, penulis melihat dengan mata telanjang, bagaimana bertumpuk-tumpuknya dosen dan mahasiswa yang kecintaannya terhadap Barat sudah sampai maqam/tingkAtan tertinggi. Menerima tanpa kritis walau salah. Memakan mentah-mentah meski belum dimasak. Sudah mengatakan wangi walau belum ada baunya. Semua itu demi sebuah susunan huruf yang terjejer dalam kata: ”Intelektual”. Tentu penulis tidak akan membahas mereka-mereka itu, karena meminjam bahasa Profesor Noor Wan Moh Daud ”Jangan sampai kuman kecil menjadi gajah. Kita tidak menyerang tukang asongan tapi pabriknya”
DEFINISI ILMIAH YANG DIHANCURKAN BARAT SENDIRI; KASUS NEGASI AGAMA

Ada argumen yang berkembang dalam saintifika modern, bahwa setiap ilmu haruslah sesuai kenyataan, melalui prosedur epistemologis yang sehat, dan pastinya harus ilmiah. Pertanyaannya, apakah nilai Barat sudah ilmiah? Apakah gagasan yang dikembangkan para kaum liberal itu sudah melewati prosedur sains yang qualified. Ini menarik.

Paul Vitz dalam bukunya Psychology as Religion mengungkapkan beberapa kerancuan para filosof dalam pemikirannya. Vitz mengatakan bahwa penolakan terhadap Tuhan dan agama sering terjadi sebenarnya bukan karena hasil renungan dan penelitian yang sadar seperti yang digadang-gadangkan kaum intelektualis selama ini. Kita tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmiah, melainkan menemukan agama itu hanya sekumpulan takhayul dan menolak agama bukan karena alasan rasional, melainkan faktor psikologis yang tidak manusia sadari. Dalam kasus Nietcszhe, misalnya, ia menolak Tuhan, seperti diakui Nietsczhe sendiri, bukan karena pemikiran, melainkan karena naluri. Sekali lagi saya tegaskan, bukan karena pemikiran ilmiah, riset mendalam, pemahaman yang sarat epistemologis, melainkan hanya bayangan instingtif, naluri tak kasat mata, dan semacam reka-rekaan, tidak lebih.
Selebrasi “ilmiah” ini belum berhenti atas kerancuan Niesczthe. Hal yang mencengangkan juga terjadi kepada Freud sendiri. Adalah karena pada kenyataannya gagasan ilusi agama Freud secara mentah-mentah mengambil, memplagiati, dan mencuri dari Feurbach. “...Teori ini tidak punya dasar dalam psikoanalisis...” tulis Vitz. Dan konyolnya, Freud sendiri memang mengakuinya dalam surat yang dikirim kepada kawannya, Oskar Pfister:

“Marilah kita berterus terang dalam hal ini bahwa pandanganku yang diungkapkan dalam bukuku, The Future of an Illusion, bukanlah bagian dari teori analitis. Semua gagasan di sana hanyalah pandangan pribadiku.”

Anthony Storr penulis buku perihal psikoanalisis Freud juga menangkap kesan ambivalensi dalam jejak-jejak agama primitif yang tertuang lewat karya Totem dan Tabu. Ini tidak lain diutarakan karena pernyataan Freud sendiri yang menganggap jika buku Totem dan Tabu sekedar dibuat “iseng-iseng” dan Psikolog Yahudi itu berharap orang-orang jangan terlalu mengambil pusing dalam buku yang ditulis ketika gerimis melanda itu. Saya jadi ingin tertawa jika teringat masa kuliah, dimana fase pemujaan tingkat tinggi kepada worldview kafir itu sudah meracuni pikiran saya. Semenjak itu saya sadar betapa akal “suci” saya sudah dikerjai Freud. Menanggapi sebuah tulisan iseng-iseng adalah ke-hamsiong-an tingkat tinggi, kata orang Cina bergumam.

Suatu ketika Feurbach menyatakan bahwa Allah merupakan buah dari pikiran manusia itu sendiri. Ia berpendapat bahwa refleksi filsafat haruslah bertolak dari satu-satu realitas yang tidak lagi dapat dipungkiri, yakni realitas inderawi, terutama realitas inderawi yang langsung mengungkapkan dirinya kepada kita. Pengandaian inilah yang menjadi titik tolak atheisme Feurbach berikutnya. Allah tidaklah menciptakan manusia, tetapi sebaliknya, Allah adalah proyeksi dari cita-cita dan mimpi-mimpi manusia. Agama adalah sebuah proyeksi. Surga, neraka, agama, Allah adalah gambar-gambar yang tidak memiliki status ontologis pada dirinya sendiri, melainkan proyeksi manusia tentang hakekat dan mimpi-mimpinya sendiri. Semua itu adalah proyeksi manusia tentang hakekat keberadaannya.

Dan anda mau tahu, dari mana Feurbach bisa cakap berbicara tentang Tuhan? Ternyata sama gilanya dengan sang murid, gagasan Feurbach juga hasil contekan dari gagasan negasi agama George Frederich Hegel. Saya jadi teringat kasus mahasiwa UIN Bandung, yang menyematkan “area bebas tuhan” di Fakultasnya. Saya yakin mereka juga tidak mendalam untuk mengetahui gagasan ini. Secara psikologis, saya paham sekali beberapa budaya anak-anak IAIN. Beberapa sekedar gaya, ikut-ikutan, agar dibilang Hegelian, Marxian, Descartesian sejati, padahal diajak diskusi sampai jam dua malam saja mengantuk. Coba saja tes pemahamannya belum tentu valid, disuruh presentasi untuk menjelaskan apa kritik Hegel terhadap Kant belum tentu tahu. Terlebih sekarang kampus-kampus keislaman lebih seperti mall, ramai tapi minim ilmu. Mahasiswinya lebih suka bergincu daripada baca buku. Alhasil, pemahaman mereka tidak ditunjang pada basis keilmuan Islam yang tangguh. Sama dengan ketidakpemahamannya bahwa Descartes begitu terinspirasi dengan metode Syak-nya Al Ghazali, ini dibuktikan dengan temuan di perpus pribadi Descartes sendiri.

Selanjutnya ada juga JB Watson, ilmuwan psikologi yang dari gagasannya dikembangkan kepada hal-hal praktis dalam menangani manusia sampai sekarang. Watson menganggap manusia tak lebih dari hewan. Baik-burukya perilaku manusia amat bergantung sepenuhnya oleh lingkungan. Jadi jika lingkungannya buruk, manusia juga akan buruk. Mengesankan manusia tidak punya potensi untuk baik dan merubah keadaan. Kalau begitu buat apa Baginda Nabi turun di sekte kejahiliyahan mayoritas? Gagasan sosial ini sudah pernah diangkat Profesor Malik Badri yang lantang berkata:

“Mereka ini tidak percaya akan wujudnya jiwa. Maka fokusnya hanya lingkungan. Bagaimana mengubah perilaku manusia dengan mengubah lingkungannya. Apakah Anda kira konsep mereka tentang manusia itu diperoleh dari penelitian di laboratorium? Tidak. Semua itu sebenarnya hasil reka-reka semata.”

Belum juga usai, setelah itu saya hampir gila ketika mengetahui bahwa kata “psyche” dalam istilah psikologi yang saya kagumi selama ini, ternyata hanyalah hasil lamunan spekulatif Plato yang menerka-nerka apa itu manusia. Saya ingin menelan ludah waktu itu, tapi susah. Saya sudah sangat malu. Jadi teringat apa kata Andrea Hirata atas dunia mistis yang digeluti Mahar dan Flo dalam novelnya, sebuah sekte kemahatololan yang pernah ada! Saya merasa menjadi lebih bodoh dari Mahar, menghabiskan uang jutaan hanya untuk mengiyakan angan-angan instingtif Plato yang belum kenal Facebook itu.
PENGABURAN PERAN MANUSIA: “ILMIAH” YANG MENJERUMUSKAN

Dari gagasan singkat yang saya uraikan di atasl, menyebarlan subordinasi pemikiran, namun kini menuju sudut-sudut kehidupan terkecil. Psikotest, misalnya, apakah anda mau percaya itu ilmiah dan dapat membuat anda sukses dunia akhirat? Tidak sepenuhnya. Bahkan tidak sedikit orang terjerumus dari tes-tes psikologi. Pada kasus tes IQ misalnya, bagaimana kecerdasan hanya dilihat dari otak saja, seakan iman itu tidak penting. Inilah yang dilakukan Depdiknas sekarang dan menular ke sekolah. Murid-murid dipaksa belajar hingga “muntah”. Belum puas dari situ eksesnya juga menurun kepada keluarga. Waktu istirahat murid dipaksa untuk diisi les, kursus, dan mengerjakan soal. Padahal semua pelajaran itu hanya bersifat hafalan. Mana anak SMA kita yang memiliki skill mumpuni? Pelajarran mereka hanya banyak menghafal di bangku sekolah, sekedar utak-atik logika. Padahal Einstein sendiri yang dipuja-puja mereka sudah bilang bahwa logika hanya dapat membuat anda pindah dari A ke B, sedangkan imajinasi dapat membuat anda berada dimana-mana.

Anak-anak di sekolah kita hanya dijadikan “bintang” manis yang duduk di kelas, dipoles untuk tersenyum menerima nilai delapan dan sembilan tinimbang melakukan riset, membuat robot, menelisik fisika kehidupan, tinimbang teori fisika an sich. Mana anak-anak kita yang bisa dagang dari pelajaran ekonominya? Mana anak kita yang tidak merokok dari pelajaran penjaskesnya? Mana anak kita yang piawai menyanyikan lagu islami dan cadas membacakan sastranya? Mana anak-anak kita yang dapat membuat lembaga zakat di sekolah dari pelajaran sosiologinya? Lalu buat apa Allah turunkan otak yang memiliki sistem kompleks dengan jutaan sel jika hanya untuk menghafal?

Belum lagi tes gambar dalam psikotest. Jika anda menggambar diri anda lengkap dengan berjilbab, hati-hati jika psikolog tiba-tiba berkata kepada anda, “Sejak kapan anda jadi orang tuli? Padahal dalam Islam jilbab amatlah mulia. Jadi apa yang ilmiah? Apakah anda mau mengorbankan makna keislaman anda, demi membayar sebuah kata ilmiah?

“ Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepadaKu. Dan janganlah kamu menjual ayat-ayatKu dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” (Al Maidah ayat 44)

0 komentar:

Tentang Aku

Foto saya
Seorang pemuda gemar menulis, membaca, dan diksusi berbagai tema: Psikologi, Konseling, Islam, Tauhid, Kajian Tokoh, Ghazwul Fikri, Filsafat, Heurmenetika, Feminisme, dan Sastra. Kadang-kadang suka juga menonton, travel, dan have fun

Arsip Tulisan

Menu Tulisan

Komentar Singkat

Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all