20070801

Tayangan Impor dan Generasi Fast Food

Satu hal yang sedang di alami bangsa ini ialah perilaku mengadopsi tayangan luar, sebagaimana acara di televisi saat ini. Dari Indonesian Idol, Deal or No Deal, Mama Mia, Who wantas to be Milionaire, Fera Factor Indonesia, belum lagi acara yang kini telah hilang yang setali tiga uang dalam korelasinya dengan mainstream tayangan impor seperti penghuni terakhir, AFI, Uang Kaget dsb.

Sudahkah berhenti di selebrasi reality show? Enggak juga. Kalau dilihat secara seksama beberapa sinetron kita juga bernafsu untk mengimitasi tayangan bangsa asing, seperti sinema F4 yang dijiplak.

Bagi peminat psikologi, pasti terbatyang tesis Gabriel Tarde dalam teori imitasinya yang mengatakan “perdaban dunia lahir dari proses imitasi”. Karena lahirnya kreativitas seseorang juga lahir dari rahim imitasi. Namun tampaknya ini gejala yang lumrah pada negara berkembang yang dijadikan pangsa pasar negara maju. Seperti Indonesia yang dijadikan pasar Jepang

Jepang merupakan negara yang getol mensuplai program-program menariknya ke Nusantara. Tercatat tahun 1990 ialah surga acara-acara Jepang bermain di bangsa ini-Patut diingat fenomena populernya Doraemon dan Benteng Takeshi- masuk ke tahun 2000an giliran era sinchanian mengukir sukses. Selain itu, di bidang reality show saat ini ada Masquerade dengan memkatnya.

Di benua Amerika ada dua negara yang kerap berlalu-lalang dalam pertelevisian nasional. Yaitu Amerika Serikat (AS) dan Meksiko. Kalau Meksiko berlalu-lalang melalui “pesawat” telenovela[1] dan AS berlalu-lalang dengan banyak “maskapai”, yakni Hollywood, reality show, musik, kartun, dan banyak lagi.

Efek dari Tayang Impor

Kesuburan tayangan luar negeri di Indonesia, setidaknya membawa tiga hal penting. Pertama, semakin mempertebal cap bahwa Indonesia sebagi negara konsumtif. Bangsa kita memang cenderung menjadi konsumen ketimbang produsen. Seharusnya kita berpikir bagaimana program kita dapat berkualitas agar menjadi trendsetter tayangan. Kesalahan kita ialah bersikap keliru dalam memperserpsi arus besar tayangan impor. Kekeliruan itu dapat dilihat dari kesalahan bangsa dalam menanggapi secara dewasa. Tayangan impor yang seharusnya menjadi pelecut motivasi kreatifitas, akan tetapi justru menjadi boomerang dalam bentuk kemalasan berpikir yang ujungnya menjadi penonton di tanah air sendiri. Analognya seperti HP, warga kita berbondong-bondong mengikuti trend yang ada, tanpa berpikir bagimana kalau kita membuat HP? Media luar seakan-akan menjadi candu bagi masyarakat, candu yang cenderung terus berlangsung.

Kedua, Semakin mempertebal Indonesia sebagai negara peniru. Fenomena menjamurnya tayangan reality show, sebenarnya hanya merubah settingan pelaku dan tempat. Pada Indonesian Idol, mari kita bertanya, apa yang beda dari American Idol? Sang juara tetap di tentukan dari pundi-pundi sms. Coba kita pikir, berani tidak mengukur penilaian tarik suara di acara tersebut secara obyektif. Penilaian dari SMS justru mendidik kita sebagai individu yang kapitalistik, siapa yang punya uang dia yang menang, dia yang juara. Ketika program luar menjadi magnet banyak orang, ketika itulah dengan prinsip malasnya, individu-individu pemilik modal di bangsa ini tinggal menyadur ulang dengan tampilan yang berbeda secara cepat. Hal ini disinyalir tercipta karena kecenderungan pasar yang menyukai hiburan-hiburan dari luar. Budaya seperti ini secara tidak langsung mengkader kita sebagai bangsa malas untuk berkreasi karena keinginannya selau terpenuhi. Rasa malas juga mewakili para remaja, yang kesehariannya hanya menonton dan membuat forum diskusi mengenai tayangan impor.

Ketiga, Dekadensi moral. Di Jepang Crayon Sinchan diperuntukkan untuk dewasa, bahkan di AS sengaja menolak kartun ini, dengan alasan khawatir disikapi secara mentah-mentah oleh anak ingusan di sana. Ironisnya, kartun dagelan itu justru dipentaskan dengan durasi 30 menit dalam jam tayang dan hari yang begitu straregis disimak oleh anak-anak belum lagi sinetron remaja kita terkesan mengagungkan kultur pop dengan kisahnya yang melulu adegan pacaran, hura-hura, utopis, klise. Akhirnya dengan mudah hal itu “memotivasi diri” remaja agar percaya diri untuk menjadi kesatuan dari permissive society yang kontraproduktif dengan situasi bangsa

Memang miris melihat wajah remaja yang di bombardir untuk tidur dan terlihat tidak berkembang. Selain serbuan dari TV, serbuan dari paradigma keruh negara ini dalam melihat jatidiri bangsa, juga turut bermain. Karenanya kita “patut” wajar melihat anak-anak yang menginjak remaja juga diseret agar mementaskan dagelan kebudayaan. Dagelan yang memakai nama seremoni bangsa seperti gelaran 17 Agustusan. Yang berkapasitas nilai-nilai hedonistik seperti berjoget, memasukkan ini ke situ, menangkap ini, yang terkesan tidak sarat dengan unsur filofofis atau berorientasi kognitif. Jauh tentu, kalau kita sandingkan dengan Jepang atau China, yang menyelenggarakan lomba merakit komputer, membuat tulisan serta membetulkan sepeda.

Generasi Fast Food

Dari pengalaman diatas, tempaknya wajar jika Indonesia diberi gelar negara yang bergenerasi Fast Food. Fast Food kita ketahui ialah makanan cepat saji seperti hotdog, hamburger, mi instant dsb. Sebuah makanan yang bahannya sudah tersedia dan tinggal dimasak saja. Dalam hitungan menit makanan itu siap disajikan. Namun yang sangat mengkhawatirkan dari Fast Food ialah ia mempunyai kandungan zat pengawet dengan efek samping terhadap kesehatan. Pertanyaannya kemudian apa hubungan Fast Food dengan bangsa kita dalam bingkai tayangan impor? Jawabannya ialah Indonesia jelas sekali memberlakukan tayangan dari luar yang menghibur layaknya sebuah Fast Food.

Pertama, dengan menerima dengan cepat. Layaknya orang lapar, Indonesia menkonsumsi Fast Food tanpa pikir panjang, dalam hal ini tidak ada Fit and Proper Test terdahulu utnk menyeleksi positif dan negatifnya terhadap bangsa. Selain itu, telah diketahui bersama Fast Food juga berisi berbagai penyakit yang membahayakan tubuh manusia, terlebih lagi jika kita memakannya tanpa dibarengi cuci tangan.

Kedua, sebuah selling point. Bukan rahasia umum Fast Food bisa menaiikkan staus sosial konsumennya, selain itu Fast Food terkesan sebagai pemanis zaman yang mesti diikuti individu agar tidak ketinggalann globalitas. Itulah yang mendasari TV kita mengundang “tamu jauh” ini dengan perasaan selangit.

Ketiga, Kolaborasi. Ada orang bilang, tidak sedap mencicipi Fast Food tenpa bumbu, saus, dan sayuran yang memadai. Begitu pula dengan tayangan impor, di sini bumbu, saus dan sayurannya dikonversikan dalam bentuk pelaku, subyek atau pemain yang secara fisik menarik, perempuan cantik dan para prianya yang tampan. Semua itu berkolaborasi menjadi tontonan yang enak dilihat.

Yang terakhir ialah mengkonsumsinya dengan nikmat. Apa yang tidak lezat dari Fast Food, secara kualitas rasa, patut diacungi jempol. Sama dengan tayangan impor, terbayang suatu suguhan yang menyita emosi dan secara tak sadar, hati kita terpacu untuk terus menyaksikan acara tersebut dari waktu ke waktu.

Generasi Fast Food yang kini telah subur, semakin menandakan kalau bangsa kita bukanlah bangsa kreatif dan bermartabat. Plagiatisme telah menjadi satandar etika sah dalam menyikapi kebutuhan produksi, padahal lahan utnuk menjadi kreatif di bangsa heterogen ini terbuka lebar.

Spirit dan Jatidiri Bangsa

Tayangan Impor sepatutnya bisa menjadi spirit untuk bangsa berkembang seperti Indonesia, bukan untuk diterima mentah-mentah. Contohnya ialah serial kartun yang begitu digandrungi anak-anak, remaja, dewasa hingga tua di Indonesia pada tahun 2002, yup dia adalah Kapten Tsubasa dari Jepang! Anda tahu kapan kartun itu dibuat? Tahun 1982, dimana Jepang dalam prestasi sepakbola, tidak ada apa-apanya di Dunia. Namun menariknya di serial tersebut, Jepang akhirnya berhasil menjuarai piala dunia dengan mengalahkan tim-tim kuat seperti Brasil, Italia dan Belanda. Gee! Disitulah spirit bangsa Jepang yang tertuang hanya dengan serial kartun. Alih-alih karena Jepang ingin masuk Piala Dunia namun tidak didukung SDM yang berkualitas, Jepang tidak kehabisan akal, negeri Sakura itu memotivasi pemuda untuk menaikan martabat bangsa dengan sepakbola. Hebatnya lagi, akhirnya Jepang berhasil masuk piala dunia tahun 1998, lalu diberi kepecayaan menjadi tuan rumah tahun 2002.

Kita boleh terkejut dalam sebuah ucapan dari Hidotoshi Nakata bintang besar sepak bola Jepang, “saya menjadi pemain sepakbola karena terinspirasi Kapten Tsubasa” hmm pria yang sukses di tim-tim sepakbola eropa dan telah pensiun dari sepakbola dan melanjutkan studi bisnis di Harvard University, hanya sebagian kecil dari orang yang bangga menunjukkan karakter orisinalitas bangsa. Belum lagi Shunsuke Nakamura yang juga tertarik dengan Tsubasa dan menjadi pemain terbaik Asia pertama di Liga Skotlandia pada tahun ini.

Itulah buah dari kerja besar bangsa kreatif dan besar, kita juga kembali teringat dengan prinsip kaizen sebuah filosofi Jepang. Singkatnya, prinsip kaizen itu mempunyai arti ambil yang baik dan buang yang buruk. Dan prinsip itu diterapkan oleh Toyota dalam perjalannanya menjadi perusahaan mobil termapan di dunia. Korelasinya dengan karakter bangsa ialah keaslian sebuah bangsa harus tetap dijaga dan bersikap selektif dalam menerima ide asing menjadi bagian penting, menerapkan yang positif dan sesuai jatidiri bangsa serta menyikirkan unsur negatif-destruktif.

Suadah saatnya kita mempunyai ketegasan sendiri manjadi bangsa besar, bermartabat dan hebat. Dengan cara memilah tayangan impor, ketika mereka mau bermain di Tanah Air. Kemudian stop plagiatisme tayangan impor yang membodohi dan kontraproduktif. Jikalau memang mau meniru, dalami substansi ambil hikmah dan spiritnya. Kini sudah saatnya kita peduli dengan bangsa sendiri. Peduli atas ciri khas yang telah teracuni tontonan luar. Lebih suka mendapatkan hasil dengan cara cepat, ketimbang mendapatkan hasil dengan kesabaran tetapi menunjukkan pribadi bangsa. Apakah kita berani?harus berani, karena mengutip perkataan Rollo May, pelopor seorang psikolog eksistensial yang mengatakan “keberanian adalah awal kreativitas” Kini. Sudah saatnya merah putih kita berkibar, hidup kreativitas!!!



[1] Kalu kita perhatikan secara kuantitas telenovela di Indonesia boleh di bilang sedang meredup saat ini. Jika tahun 1990an ada sekitar ratusan programnya, namun sekarang program yang kerap menampilkan drama yang menyentuh itu bisa dihitung dengan jari.

0 komentar:

Tentang Aku

Foto saya
Seorang pemuda gemar menulis, membaca, dan diksusi berbagai tema: Psikologi, Konseling, Islam, Tauhid, Kajian Tokoh, Ghazwul Fikri, Filsafat, Heurmenetika, Feminisme, dan Sastra. Kadang-kadang suka juga menonton, travel, dan have fun

Arsip Tulisan

Menu Tulisan

Komentar Singkat

Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all