Satu hal yang sedang di alami bangsa ini ialah perilaku mengadopsi tayangan luar, sebagaimana acara di televisi saat ini. Dari Indonesian Idol, Deal or No Deal, Mama Mia, Who wantas to be Milionaire, Fera Factor Indonesia, belum lagi acara yang kini telah hilang yang setali tiga uang dalam korelasinya dengan mainstream tayangan impor seperti penghuni terakhir, AFI, Uang Kaget dsb.
Sudahkah berhenti di selebrasi reality show? Enggak juga. Kalau dilihat secara seksama beberapa sinetron kita juga bernafsu untk mengimitasi tayangan bangsa asing, seperti sinema F4 yang dijiplak.
Bagi peminat psikologi, pasti terbatyang tesis Gabriel Tarde dalam teori imitasinya yang mengatakan “perdaban dunia lahir dari proses imitasi”. Karena lahirnya kreativitas seseorang juga lahir dari rahim imitasi. Namun tampaknya ini gejala yang lumrah pada negara berkembang yang dijadikan pangsa pasar negara maju. Seperti
Jepang merupakan negara yang getol mensuplai program-program menariknya ke Nusantara. Tercatat tahun 1990 ialah surga acara-acara Jepang bermain di bangsa ini-Patut diingat fenomena populernya Doraemon dan Benteng Takeshi- masuk ke tahun 2000an giliran era sinchanian mengukir sukses. Selain itu, di bidang reality show saat ini ada Masquerade dengan memkatnya.
Di benua Amerika ada dua negara yang kerap berlalu-lalang dalam pertelevisian nasional. Yaitu Amerika Serikat (AS) dan Meksiko. Kalau Meksiko berlalu-lalang melalui “pesawat” telenovela[1] dan AS berlalu-lalang dengan banyak “maskapai”, yakni Hollywood, reality show, musik, kartun, dan banyak lagi.
Efek dari Tayang Impor
Kesuburan tayangan luar negeri di
Kedua, Semakin mempertebal
Ketiga, Dekadensi moral. Di Jepang Crayon Sinchan diperuntukkan untuk dewasa, bahkan di AS sengaja menolak kartun ini, dengan alasan khawatir disikapi secara mentah-mentah oleh anak ingusan di sana. Ironisnya, kartun dagelan itu justru dipentaskan dengan durasi 30 menit dalam jam tayang dan hari yang begitu straregis disimak oleh anak-anak belum lagi sinetron remaja kita terkesan mengagungkan kultur pop dengan kisahnya yang melulu adegan pacaran, hura-hura, utopis, klise. Akhirnya dengan mudah hal itu “memotivasi diri” remaja agar percaya diri untuk menjadi kesatuan dari permissive society yang kontraproduktif dengan situasi bangsa
Memang miris melihat wajah remaja yang di bombardir untuk tidur dan terlihat tidak berkembang. Selain serbuan dari TV, serbuan dari paradigma keruh negara ini dalam melihat jatidiri bangsa, juga turut bermain. Karenanya kita “patut” wajar melihat anak-anak yang menginjak remaja juga diseret agar mementaskan dagelan kebudayaan. Dagelan yang memakai nama seremoni bangsa seperti gelaran 17 Agustusan. Yang berkapasitas nilai-nilai hedonistik seperti berjoget, memasukkan ini ke situ, menangkap ini, yang terkesan tidak sarat dengan unsur filofofis atau berorientasi kognitif. Jauh tentu, kalau kita sandingkan dengan Jepang atau
Generasi Fast Food
Dari pengalaman diatas, tempaknya wajar jika
Pertama, dengan menerima dengan cepat. Layaknya orang lapar, Indonesia menkonsumsi Fast Food tanpa pikir panjang, dalam hal ini tidak ada Fit and Proper Test terdahulu utnk menyeleksi positif dan negatifnya terhadap bangsa. Selain itu, telah diketahui bersama Fast Food juga berisi berbagai penyakit yang membahayakan tubuh manusia, terlebih lagi jika kita memakannya tanpa dibarengi cuci tangan.
Kedua, sebuah selling point. Bukan rahasia umum Fast Food bisa menaiikkan staus sosial konsumennya, selain itu Fast Food terkesan sebagai pemanis zaman yang mesti diikuti individu agar tidak ketinggalann globalitas. Itulah yang mendasari TV kita mengundang “tamu jauh” ini dengan perasaan selangit.
Ketiga, Kolaborasi.
Yang terakhir ialah mengkonsumsinya dengan nikmat. Apa yang tidak lezat dari Fast Food, secara kualitas rasa, patut diacungi jempol. Sama dengan tayangan impor, terbayang suatu suguhan yang menyita emosi dan secara tak sadar, hati kita terpacu untuk terus menyaksikan acara tersebut dari waktu ke waktu.
Generasi Fast Food yang kini telah subur, semakin menandakan kalau bangsa kita bukanlah bangsa kreatif dan bermartabat. Plagiatisme telah menjadi satandar etika sah dalam menyikapi kebutuhan produksi, padahal lahan utnuk menjadi kreatif di bangsa heterogen ini terbuka lebar.
Spirit dan Jatidiri Bangsa
Tayangan Impor sepatutnya bisa menjadi spirit untuk bangsa berkembang seperti
Kita boleh terkejut dalam sebuah ucapan dari Hidotoshi Nakata bintang besar sepak bola Jepang, “saya menjadi pemain sepakbola karena terinspirasi Kapten Tsubasa” hmm pria yang sukses di tim-tim sepakbola eropa dan telah pensiun dari sepakbola dan melanjutkan studi bisnis di
Itulah buah dari kerja besar bangsa kreatif dan besar, kita juga kembali teringat dengan prinsip kaizen sebuah filosofi Jepang. Singkatnya, prinsip kaizen itu mempunyai arti ambil yang baik dan buang yang buruk. Dan prinsip itu diterapkan oleh
Suadah saatnya kita mempunyai ketegasan sendiri manjadi bangsa besar, bermartabat dan hebat. Dengan cara memilah tayangan impor, ketika mereka mau bermain di Tanah Air. Kemudian stop plagiatisme tayangan impor yang membodohi dan kontraproduktif. Jikalau memang mau meniru, dalami substansi ambil hikmah dan spiritnya. Kini sudah saatnya kita peduli dengan bangsa sendiri. Peduli atas ciri khas yang telah teracuni tontonan luar. Lebih suka mendapatkan hasil dengan cara cepat, ketimbang mendapatkan hasil dengan kesabaran tetapi menunjukkan pribadi bangsa. Apakah kita berani?harus berani, karena mengutip perkataan Rollo May, pelopor seorang psikolog eksistensial yang mengatakan “keberanian adalah awal kreativitas” Kini. Sudah saatnya merah putih kita berkibar, hidup kreativitas!!!
[1] Kalu kita perhatikan secara kuantitas telenovela di
0 komentar:
Posting Komentar