Konselor Muslim
Anda tahu, mengapa kampus-kampus Perguruan Tinggi Negeri seperti UI, IPB, UGM, atau ITB belum mau menerima nilai UN sebagai kriteria Seleksi Penerimaan Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)? Tentu banyak alasan. Salah satunya adalah pihak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang belum meyakini sepenuhnya bahwa hasil UN dapat dijadikan patokan kualitas siswa.
Ini amat wajar. Karena betapa bobroknya penyelenggaraan UN. Dari mulai pembocoran soal ujian. Permisivitas guru dalam mengawasi. Atau berada pada ttitik ekstrim: Kongkalikong antara satu sekolah dan sekolah lainnya dalam “merahasiakan” kecurangan mereka!! Tentu itu tidak terjadi di seluruh sekolah. Namun kasus seperti paragraf ini bukan tidak sedikit. Jamak. Lebih dari satu-dua. Anda bisa mabuk jika melihat datanya, meski kita belum meminum arak.
Benarkan Lulusan Terbaik UN “Pintar”?: Mencoba Melihat Cara Kerja Otak
Jika anda berprofesi sebagai guru, hal itu bukan rahasia umum. Semuanya dilakukan rapih dan cenderung serba teratur bak intelijen antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kasus Komunitas Airmata guru tahunan silam pasti tidak lekang dalam ingatan kita. Saya sebenarnya sampai pada fikiran. Jika dahulu lelehan airmata guru itu adalah tangisan terhadap kecurangan, tapi kini luapan airmata itu tertuju kepada sistem yang menjadi keladi atas rasa gundah pelaku pendidikan. Sekolah hanyalah “korban” dari kekeliruan Elit kita dalam memahami kata pendidikan. Karena setahu saya mendidik itu prosesnya dengan hati, bukan hati-hati. “Hati-hati nanti ketahuan pengawas!!”
Kedua, UN memang sangat beresiko untuk menjadi standar kelulusan. Karena dengan tekanan yang sedemkian rupa terhadap siwa, amat beralasan jika kemudian siswa tidak bisa mengeluarkan kemampuan maksimalnya. Siswa tidak bisa nyaman dalam menyelesaikan soal. Tekanan itu datang bertubi-tubi terhadap mereka. Ya dari guru, keluarga, kawan-kawan, sampai dirinya sendiri. Semuanya demi reputasi. Tanpa disadari reputasi itu ternyata dibangun lewat tragedi.
Ada sebuah kisah unik sekaligus nyata untuk mengambil hikmah dalam ironi di atas. Alkisah, ada seorang anak kelas 1 SD beranama Robert J. Sternberg sedang bersiap-siap mengikuti Tes Inteligence Quotient (IQ). Saking cemasnya, hasil Tes IQ anak tersebut tidaklah terlalu baik, bahkan cenderung masuk ke kategori “anak bodoh”. Kedepannya, Robert menjadi anak yang biasa-biasa saja. Kemampuan Robert cenderung pas-asan semasa hidupnya di kelas. Itu dimulai dari kelas 1 hingga 3 SD.
Hingga pada suatu hari, muncullah seorang guru baru yang bernama Miss Alexa yang tidak percaya dengan ramalan Tes IQ. Miss Alexa dengan tegas berkata kepada Robert bahwa dia bisa melakukan yang lebih baik bila dia mau berusaha. Ternyata ucapan Miss Alexa jauh lebih akurat dari ramalan Tes IQ Robert, karena nilai Robert yang tadinya cuma C sekarang melejit hingga menjadi A. Nilai itu pun dapat tetap terus dipertahankannya hingga dia menjadi siswa yang berprestasi.
Anda mau tahu apa gawean Robert J. Sternberg sekarang ini? Saat ini dia adalah seorang Profesor Psikologi di Yale University, Amerika. Robert Sternberg telah menulis lebih dari 600 makalah ilmiah dan beberapa buku yang terkenal. Saking cintanya kepada Miss Alexa, dan betapa bersyukurnya si kecil Robert boleh memiliki guru yang “menyelamatkan” hidupnya. Akhirnya dengan oenuh keharuan, Robert J. Sternberg mendedikasikan bukunya yang berjudul “Successful Intelligence” kepada mantan guru SDnya tersebut.
Pertanyaannya, kenapa akhirnya seorang Robert Sternberg yang divonis dalam Tes IQ mendapat predikat C, berhasil melambungkan diri dan berhasil sukses? Nah, ini hampir sama persis dengan proses UN. Kita dapati tidak satu dua lagi, siswa yang awalnya pintar kemudian menjadi lemah dalam UN. Murid yang sebelumnya terkenal akan kepandaiannya, hanya dalam waktu tiga hari “berhasil” menjatuhkan nilainya. Penulis tidak hendak mengatakan bahwa Wildan dan Shelly adalah bagian yang menguatkan prosa itu. Tapi setidaknya kejadian ini jamak berserakan di lapangan. Sebilah kertas sebagai “takdir” untuk menentukan seorang siswa pantas lulus atau tidak. Bodoh atau pintar. Ya kesemuanya itu adalah Pil pahit yang mesti dirasakan Robert-Robert baru dengan cita rasa nusantara.
Lho anda mau mengatakan milayaran kocek pemerintah untuk membiayai UN hanya habis untuk sebuah tes yang absurd? Oke, baiklah penulis terangkan. Jika anda belajar Ilmu intelegensi, dalam bab otak manusia, saat seseorang merasa tegang maka yang aktif adalah otak reptilnya. Persoalannya kemudian otak reptil adalah level otak yang terendah dalam tingkat kognisi seseorang. Ia hanya bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi sensor motorik sebagai insting mempertahankan hidup dan pengetahuan tentang realitas fisik yang berasal dari pancaindera. Apabila otak reptil ini dominan dalam diri manusia, maka kita tidak dapat berfikir pada tingkat yang sangat tinggi.
Padahal untuk menyelesaikan sesuatu yang membutuhkan pemikiran, yang bermain adalah otak neokorteks, bukan otak reptil. Neokorteks adalah bagian otak yang menyimpan kecerdasan yang lebih tinggi. Penalaran, berfikir secara intelektual, pembuatan keputusan, bahasa, perilaku yang baik, kendali motorik sadar dan penciptaan gagasan (idea), kesemuanya berasal dari pengaturan orak neokorteks.
Menurut Howard Gardner, kecerdasan majemuk (multiple intelegence) berada pada bagian ini. Bahkan pada bagian ini pula terdapat intuisi yaitu kemampuan untuk menerima atau menyadari informasi yang tidak diterima oleh pancaindera.
Konsekuensi logisnya, UN yang didengung-dengungkan sebagai media standar kelulusan siswa akhirnya berbenturan dengan hal itu. Anak tidak mampu maksimnal mengeluarkan kemampuan otak neo korteksnya, dan memaksa dirinya dikuasai otak reptile. Karena sedemikian rupa tekanan yang menghantui mereka.
Di sebuah sekolah bahkan ada pihak Kepala Sekolah menempeli dinding kelas dengan poster bertulis “Gak Lulus UN mau ditaro mana muka gue?” atau “Gagal UN? Kiamaaaattt…!!”. UN tidak lagi menjadi media menyenangkan untuk mencapai titik awal kesuksesan, tapi UN berubah sedemikian rupa menjadi ring hidup dan mati. “Mati syahid atau mati konyol”. Bodoh dan tidak bodoh.
Belum lagi selama persiapan UN, peserta didik akan dipaksa belajar hingga “muntah” dari pagi ketemu sore, balik lagi ke pagi. Going itu sudah ditabuh dari awal saat siswa pada hari pertama sekolah. Contoh sekarang di sebuah sekolah, system yang dipakai adalah Sistem Kredit Semester. Materi semester satu (sama dengan kelas 1 SMA) dipadatkan, kemudian disisipi materi semester dua. Begitupun seterusnya. Materi kelas tiga nanti secara otomatis akan masuk ke semester dua. Sampai mereka tiba waktu di semester 5.
Kebijakan ini diterapkan agar ada jatah enam bulan kosong pada akhir mereka kelas tiga (semester enam) demi mempersiapkan UN selama enam bulan full!!! Ya hanya demi sebuah jawaban betul atau salah di atas kertas computer selama tiga hari. Saya menamakan ini sebagai sebuah kesalahan sistem.
Definisi Pintar yang teredusir
Karena itu definisi pintar, mau tidak mau mesti dikaji ulang. Bahkan menurut Adi Gunawan kecerdasan dalam kualifikasi dunia malah bergantung situasi dan kondisinya. Contohnya begini, bila seorang dokter bedah terkemuka tinggal di New York dibawa ke belantara gurun di Australia dan tinggal bersama suku Aborigin, lalu dokter ini diminta untuk mengamati suatu hamparan dataran, apakah yang ia lihat?
Mungkin saja dokter ini hanya akan melihat dataran yang gersang dengan tumbuhan semak belukar, dan kontur dataran yang naik turun. Itu saja. Tapi, suku Aborigin hanya dengan sekali pandang akan tahu jenis tanaman yang ada. Mana yang bisa dimakan mana yag tidak. Dimana bisa untuk mendapatkan air minum. Mana tumbuhan yang beracun mana yang tidak. Jenis hewan apa saja yang dapat dikonsumsi dan yang berbahaya. Suku Aborigin pun tahu berdasarkan jejak yang terdapat di tanah, hewan apa saja yang baru lewat.
Sekarang anda saya tanya, dalam kondisi seperti di atas mana yang lebih pintar? Begitu sebalikanya saat suku Aborigin atas izin Allah bertandang ke bumi Patung Liberty melihat gedung tinggi menjulangnya. Bar-bar kafe besrliweran dimana-mana. Kalau situasi begini mana yang lebih cerdas? Dokter bedah atau Suku Aborigin tersebut? Karenanya, definisi kecerdasan tidaklah sepele.
Lulusan Agama Sepi Prestasi?: Torehan Ilmu dari Anak Bangsa
Kondisi ini semakin rumit. Pendefinisian siswa terbaik selalu lekat dalam stigma monopoli fisika, kimia, matematika, nilai sepuluh, juara UN dan sejenisnya. Kita jarang sekali menghargai atau menjadikan cerita kesuksesan para ulama kita dalam merajai sains sebagai pengiang saat kita lupa bahwa dunia ini sebenatr. Kita pun amat minim menemani anak didik kita dengan kisah-kisah hebat bagaimana siswa agama mampu menjemput kesuksesan, melebihi mereka-mereka yang menjadikan dunia sebagai ukuran kesuksesannya.Masyarakat-p
Padahal Nabiyullah Muhammad meninggalkan warisan sebagai lentera-lentera yang menerangi dunia yang tak lain adalah “Ashabul ‘Ilmi” (para ulama), yaitu mulai para Shohabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in sampai para ulama hingga tiada batas waktu. Seperti yang pernah disabdakan Nabi, “Para ulama itu sebagai lampu-lampu di bumi, sebagai pengganti para Nabi, mereka adalah pewaris-Ku dan pewaris para Nabi”.
Sekarang saya tes anda untuk membenarkan separuh tesis saya, syukur-syukur kalau saya salah. Anda tahu siapa mahasiswa UNISBA yang mampu menghafal 2500 hadis? Mungkin sebagian kita hanya akan melempar kata, “Oh ada, ya? Atau “Ah masak, sih?” atau ada pula sebagian kita yang berdecak, “Subhanallah…”.Memang wajar, sebab begitu tertutupnya info mengenai torehan luar biasa ini di media.
Eko Prasetyo Murdi Utomo umurnya genap 24 tahun. Ia adalah mahasiswa Fakultas Syariah di Universitas Islam Bandung (Unisba). Nama Eko begitu ranum di jagad dunia per-hadis-an Asia, setelah mampu meraih juara pertama Musabaqoh Hidzil (hapalan) Al-Quran dan Hadist tingkat Asia Tenggara.
Pada final Musabaqoh Hafalan Al-Qur'an dan Hadist Tahunan "Amir Sulthan Bin Abdul Aziz Alu Suud Tingkat ASEAN" ketiga kalinya ini, pemuda asal Pontianak tersebut mengalahkan 13 peserta dari berbagai Negara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, serta Filipina.
Eko adalah mahasiswa Fakultas Syariah Program Studi Keuangan dan Perbankan angkatan 2006. Dalam ajang ini Eko berhasil menyisihkan peserta dari Thailand, Laos, Myanmar, Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Pemuda yang berencana melanjutkan studi S2 ke Madinah, Saudi Arabia ini, mengaku menghapal hadits tidak terjadi secara instan. Berkat ketekunan dan tuntunan para guru ketika masih duduk di bangku SMA, dia berhasil menghapal banyak hadits. Jumlahnya mencapai 2.500 hadits. Kebetulan ketika SMA, Eko juga berdiam di Pesantren Modern Gontor Jawa Timur.
Selesaikah, kehebatan “anak-anak” agama dalam mengharumkan nama bangsanya? Belum lagi beres. Anda kenal DR Mawardi? Jujur saya saja tidak mengenalnya sebelum seorang Ustadz memberi tahu saya saat acara di Pondok Pesantren Husnayain, Jakarta, pekan silam.
Di tengah gembar-gembor pemerintah memberi sanjungan bagi juara paduan Suara dan bernyanyi dengan title “Pengharum nama bangsa.” Itu justru tidak didapat oleh DR. Mawardi. Memang DR. Mawardi tidak membuthykannya, tapi kita bis melihat bagaimana cara pemerintah menghargai Ulamanya.
DR Mawardi memiliki rekam jejak yang menggaumkan. Ia selalu meraih summa cumlaude (A Plus) semenjak S1 sampai S3. Seperti dikutip situs bataviase.co.id, beliau menulis tema yang bukan biasa-biasa saja. Tebalnya mencapai 1.100 halaman. DR. Mawardi mengambil judul “Ziyadat was-Tidrakaat al-Imam al-Nawawi, atal Imam ar-Rafi iyfl Babi al-Zakal.”
Seorang penguji mengaku keheranan. Ia baru saat itu menemukan ada disertasi setebal 1.000 halaman lebih di Universitas Madinah, tanpa ada satu kesalahan pun dalam nahwu dan sharaf!! Subhanallah.
Putra Bangkinang ini mulai memasuki jenjang S-l di Universitas Madinah tahun 1990. Di tingkat ini, setiap semester berhasil ia lalui dengan predikat summa cum laude. Tahun 2000, Ketua MUI Kampar ini menyelesaikan pendidikan S2-nya, dengan tesis berjudul Tahqiq al-Matlabal AliyfiSyarhi Wasith al-Imam al-Ghazali. Tesis setebal 900 halaman ini merupakan studi tentang filologi terhadap buku al-Matlabul Aliy, sebuah kitab fikih terbesar dalam mazhab Syafii, karya Ibnu Rifan. Padahal, Cendekiawan sekaligus Imam Mesjid Kampar ini hanya mengkaji bab wudhu saja, yang naskah aslinya saja sekitar 600 halaman. Manuskrip ini belum dibukukan. Jika nantinya, dibukukan, dipekrirakan akan menjadi sekitar 100 jilid. Bayangkan!!
Cita-cita DR. Mawardi pun bukan main-main. Ia enggan terjun ke wilayah politik. DR Mawardi hanya bertekad kelak ia akan membangun peradaban Ilmu, dan itu dimulai dari Kampar, sebuah wilayah sederhana di Kepulauan Riau.
Sekarang saya ingin buktikan kembali, bahwa tidak hanya siswa umum yang cerdas. Sebuah Madrasah di bilangan Depok, baru-baru ini menorehkan prestasi yang riil ketimbang juara di atas “kertas”. Mereka berhasil membuat robot dan berkesempatan mempresentasikannya kepada Dubes AS dan NASA Ya madrasah tersebut bernama Madrasah Techno Natura (MTN)
Seperti dikutip situs Tempo, Leuan Andalver Noble, salah seorang Siswa Madrasah tersebut memperlihatkan T Bot kepada 12 pelajar sekolah menengah atas dari Amerika Serikat. T Bot adalah teleskop robot yang dirakitnya bersama dua rekannya dari Madrasah Techno Natura, Depok.
Para pelajar asing itu mengajukan banyak pertanyaan kepada Nobby, nama panggilan Noble, dari program yang digunakan hingga gambar yang dihasilkan robot pengamat benda antariksa itu.
Dibantu teman satu timnya, Habib Adib Wahono, Nobby menjawab pertanyaan yang diajukan lewat video tersebut. Para pelajar dari tiga sekolah menengah atas Amerika itu memang tidak berada di tempat yang sama dengan Nobby. Mereka berada di Exploration Gallery, AERO Institute, Palmdale, California, sedangkan Nobby dan 11 pelajar Indonesia lainnya berada di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Madrasah Techno Natura memang bukan lah sekolah main-main. Sekolah yang fokus kegiatannya di Mesjid Griya Tugu Asri, Depok Jawa Barat, ini menerapkan sIstem pembelajaran yang unik. Dalam kesempatan penulis bertemu salah seorang koorintaor MTN, beliau menjelaskan bahwa anak-anak dari Sekolah Dasar di MTN sudah diajarkan imajinasi yang tinggi. Dalam pelajaran eksakta misalnya. Peserta didik diajak untuk berkerasi seolah-olah mereka sedang menjadi perakit mobil. Mereka kemudian menggambar bangunan mobil dan menjelaskan apa keunggulan mobil yang mereka ciptakan dalam format prentasi kelas. Untuk anak sekecil itu? Ya No Dream Too High!
Bahkan Siswa SD di sini sudah diajarkan bagaimana memiliki jiwa enteurpreneship. Jika anda menghadiri sebuah event di Komplek Griya Tugu Asri, kita akan melihat anak-anak SD yang jamak membuka stan bazarnya. Tampil percaya diri menjajahkan barang jualannya, dan mereka benar-benar menjadi penjualnya. Mereka diajarkan mandiri sedari kecil, memahami filosofi mengapa Rasulullah menjadi seorang pedagang.
Sekolah yang juga menjadi tempat penulis mengaji setiap minggu dan jum’at malam ini, tidak sembarangan mendidik guru. Mereka terbiasa belajar dengan alam, jika seorang guru tidak tahu pertanyaan murid, seorang guru cukup berkata “Nah, karena kakak tidak tahu jawabannya, yuk kita cari sama-sama”.
Andai Soek Hoek Gie masih hidup, saya haqqul yakin beliau tidak akan sempat melontarkan kata-kata, “Guru bukan dewa dan murid bukan kerbau”. Sebuah kekecewaannya terhadap gurunya di Kanisius. Karena di MTN, guru dan murid bisa menjadi “dewa” secara berbarengan.
Pintar dengan fondasi Islam
Pintar, cerdas, pandai, menurut Islam tidak hanya dinilai dari aspek kognisinya saja. Islam tidak menyediakn jurang bagi siswa pandai tapi terperosok akhlaknya. Islam memandang pintar lebih menyeluruh dari definisi dunia. Islam pun punya visi yang jelas, dimana standar kepintaran mestilah berfundamen dari alas keIslaman yang jelas.
Hasilnya, bisa kita tebak. Dimana bumi dipijak, “kepintaran” seorang muslim tidak boleh melunturkan akidah dan tauhidnya. Seorang siswa dengan memilki basis Islam yang kuat akan dengan jelas melihat berbagai fenomena dengan worldview keIslamannya.
Kasus tawuran antara dua kubu sekolah favorit yang bertetangga di Blok M, lalu konflik antara sesama mahasiswa Universitas Negeri Makasar mesti menyadarkan jiwa muslim kita. Bahwa menjadi cerdas secara dunia belumlah cukup. Pun cerdas secara spiritual ala Danah Zohar. Sebagai muslim, standar kecerdasan kita sudah jelas, tidak bisa campur sana-sini antara berbagai agama.
Dalam sebuah kajian Tazkiyatun Nafs. Islam telah memberi sinyal kepada kita bagaimana memaknai kepintaran yang dapat merebut dua gayung sekaligus dan menyiramnya bagi kesuksesan hidup dan akhirat.
Menurut Baginda Nabi Muhammad SAW, “Orang yang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal (berbuat) untuk masa sesudah mati, Sedang orang yang lemah ialah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”. (Hadis Riwayat Ahmad)
Menurut Hadist ini, kecerdasan sesorang dapat diukur dari kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsunya (cerdas emosi) dan mengorientasikan semua amalnya pada kehidupan sesudah mati (cerdas spiritual). Mereka yakin bahwa ada kehidupan setelah kematian, mereka juga percaya bahwa setiap amalan di dunia sekecil apapun akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt.
Nah dengan visi ini, sudah saatnya guru, kepala sekolah, pemerintah, melakukan kependidikan atas dasar takwa dan Iman. Bukan sekedar jargon, tapi implementasi. Dan tidak cukup mereka, karena pendidikan adalah tugas wajib bersama.
Wallahua’lam. Selesai.